Rabu, 15 Juni 2011

Kajian Importasi CLQ

KAJIAN TENTANG  IMPOR PAHA AYAM  TERHADAP
INDUSTRI PERUNGGASAN INDONESIA

Imas Sri Nurhayati dan Eny Martindah
Puslitbang Peternakan

Abstrak
            Indonesia merupakan pasar potensial untuk unggas dan produknya sehingga Amerika Serikat berusaha menembus pasar daging ayam terutama untuk paha ayam (CLQ). Pengalaman tahun 1998-2002 telah memberikan pelajaran berharga, dimana saat itu telah masuk impor paha ayam, dengan mengandalkan aturan perdagangan bebas, meskipun menurut data statistik dari tahun 1998-2004 Indonesia tidak pernah mengimpor daging ayam dari negara mana pun. Produk tersebut dijual di pasar swalayan dan pasar tradisional dengan harga sangat murah. Isu impor paha ayam dari AS kembali merebak pada awal tahun 2005, ancaman serius bagi bisnis perunggasan Indonesia yang belum pulih akibat krisis ekonomi dan wabah Avian Influenza (flu burung).

Kata kunci: usaha perunggasan, impor, CLQ

Pendahuluan
Populasi penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta jiwa dengan tingkat pertambahan penduduk mencapai 1,6% per tahun. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar, Indonesia merupakan pasar potensial untuk unggas dan produknya. Beberapa pakar menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia yang saat ini masih di bawah 7kg/kapita/tahun berpotensi meningkat seiring dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan akan gizi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, diperlukan kecukupan daging untuk memenuhi kebutuhan protein bagi penduduk Indonesia. Situasi dan kondisi demikian membuat Amerika Serikat berusaha menembus pasar daging ayam Indonesia terutama untuk paha ayam (Chicken Leg Quarter-CLQ) sejak 5 tahun yang lalu (TROBOS, September 2005). Seperti telah diketahui bahwa CLQ di negeri asalnya tidak laku dijual dan dianggap limbah, karena konsumen di Amerika umumnya memakan bagian dada dan sangat jarang yang mengkonsumsi bagian paha.
Impor hasil ternak, khususnya daging (termasuk daging ayam) sebetulnya telah lama berlangsung dan praktis tidak dipermasalahkan. Namun kasus atau rencana impor paha ayam (CLQ) menjadi persoalan yang serius (HADIYANTO, 2002). Bagi masyarakat awam hal ini mungkin dianggap tidak begitu serius selama daging ayam yang dibutuhkan masih terpenuhi dengan harga terjangkau. Akan tetapi bagi pemerintah dan masyarakat yang terlibat langsung dengan bisnis perunggasan, gejala membanjirnya paha ayam dari AS merupakan ancaman yang serius. Masyarakat perunggasan khawatir impor CLQ akan memberikan dampak buruk bagi bisnis perunggasan Indonesia.
Pada tahun 1998 banyak peternak yang terpaksa menutup usahanya akibat krisis ekonomi. Pemerintah saat itu mengijinkan masuknya daging ayam impor baik utuh maupun potongan berupa paha dan sayap ayam. Daging impor ini dijual bebas, selain di pasar swalayan juga di pasar-pasar tradisional. Ternyata masyarakat menyambut dengan antusias karena harganya yang relatif murah dibandingkan produk lokal. Jika kita cermati, masuknya CLQ pada tahun 1998-2000 merupakan langkah darurat. Hal ini dipicu oleh kebutuhan dalam negeri yang sangat besar, harga di pasar internasional yang rendah, produksi dalam negeri tidak mencukupi serta adanya bantuan kredit impor dari negara produsen (YUDOHUSODO dalam KOMPAS, 26 Mei 2003). Sebagai gambaran, CLQ dari AS termasuk residual good  (bahan-bahan yang harganya sangat murah karena di negara produsennya tidak laku dijual), harga CLQ impor sekitar 0,22 US$/kg, dan pada era perdagangan bebas produk tersebut mempunyai peluang yang sangat mudah masuk ke Indonesia.

Kasus di Lapangan
            Isu impor paha ayam telah dibantah oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono seperti yang dilansir beberapa media (KOMPAS, MEDIA INDONESIA, REPUBLIKA, 9 Oktober 2005). Menurut Menteri Pertanian yang menjadi pertimbangan Departemen Pertanian untuk menolak masuknya CLQ dari Amerika Serikat dan Eropa adalah selain alasan jumlah produksi daging ayam domestik yang mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga aspek ketidakhalalan. Meskipun demikian, sampai saat ini masih ada pihak-pihak tertentu yang sangat menginginkan impor produk unggas termasuk CLQ. Argumen yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang menginginkan pemasukan CLQ adalah “impor ditujukan bagi kepentingan masyarakat konsumen, agar diperoleh protein hewani dengan harga murah” (TROBOS, Februari 2006). Sebagai komoditas strategis, tidak salah jika banyak pihak yang berminat untuk mendatangkan produk unggas dari luar. Beberapa produk unggas yang menjadi isu hangat beberapa waktu terakhir diantaranya chicken wing (sayap ayam), MDM (Mechanical Deboned Meat) dan CLQ (paha ayam). Harga paha ayam di AS hanya 15-45% dari harga dada ayam, sehingga bagian dada mensubsidi bagian paha ayam, sedangkan di Indonesia hamper tidak ada perbedaan antara harga bagian paha dan dada. Harga paha ayam ex AS hanya 40-45% harga paha ayam Indonesia bahkan ada yang menawarkan 15-20%, ini merupakan selisih yang sangat menguntungkan dan tentu saja akan menekan produk lokal (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006).
Dari lapangan diperoleh informasi bahwa 40-60 kontainer paha ayam telah masuk pelabuhan I Koja di Tanjung Priok tanggal 22 Maret  2005 (TROBOS, April 2006). Sementara itu di Sidoarjo ditemukan paha ayam eks AS yang seharusnya ditujukan ke Rusia tidak memiliki sertifikat halal serta adanya pengakuan dari produsen yang tidak pernah mengajukan sertifikasi halal. Kasus lain, chicken wings telah beredar di Ujung Pandang bulan Oktober 2005 dengan harga jual Rp 6.000/kg, produk tersebut diduga berasal dari luar negeri yang masuk secara illegal (TROBOS, Nopember 2005). Potongan sayap ayam tersebut berukuran sedang dan besar, ini mengindikasikan bahwa bagian sayap tersebut berasal dari ayam besar yang jarang diproduksi di Ujung Pandang atau daerah Indonesia lainnya.

Pro & Kontra terhadap Impor  Paha Ayam dan Produk Lainnya.
Isu impor produk unggas dari luar negeri terutama CLQ (paha ayam) telah menimbulkan berbagai opini publik. Di satu sisi, masalah kehalalan daging ayam impor ini bisa menjadi hal sensitif bagi konsumen yang akan menimbulkan friksi yang kontra produktif. Di sisi lain bisa jadi konsumen punya anggapan bahwa daging ayam dari luar negeri lebih bagus. Anggapan ini timbul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap produksi ayam nasional terkait dengan isu flu burung.
Masyarakat yang sadar memandang paha ayam sebagai bahan yang berpotensi menimbulkan resiko, karena paha ayam biasanya menjadi lokasi penyuntikan antibiotik,  sehingga residu antibiotik mengumpul di bagian ini. Dalam beberapa tahun, residu yang terkandung pada paha ayam dapat memicu munculnya kanker tertentu karena bersifat karsinogenik. Ayam di AS dipanen sekitar umur 6 minggu sehingga disinyalir oleh para ahli gizi, produk ayam AS lebih banyak mengandung lemak dan kolesterol (KESEHATAN, 2005). Selain tidak memenuhi aspek aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), impor paha ayam juga akan menghancurkan peternak ayam dan industri peternakan ayam dalam negeri yang belum pulih akibat flu burung dan krisis lainnya.
Pernyataan Utoyo seperti dikutip TROBOS (September, 2005) menekankan bahwa akibat flu burung peternak ayam telah mengalami kerugian cukup besar Data dari Pusat Informasi Pasar (PINSAR) Unggas Nasional awal Agustus 2005 menunjukan bahwa akibat flu burung ± 50% permintaan daging ayam anjlok. Data ini jelas menggambarkan betapa besar kerugian yang diderita peternak. Jika CLQ dari USA masuk ke pasar dalam negeri sudah dipastikan perunggasan Indonesia akan lebih terpuruk dan semakin tertekan. Himbauan Forum Peternakan Indonesia (FPI) agar DPR dapat memperjuangkan aspirasi peternak dan agar pemerintah melindungi kepentingan peternak tentunya sangat beralasan.
Keresahan para pelaku usaha perunggasan semakin besar ketika paha ayam asal AS masuk ke Nangroe Aceh Darussalam (TROBOS, Maret 2005). Walaupun masuknya barang tersebut merupakan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Aceh berkaitan dengan musibah gempa bumi dan gelombang tsunami serta melalui jalur resmi.  Bagi pemerintah dan masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha perunggasan, hal ini  merupakan ancaman yang serius, karena akan memberikan dampak buruk bagi bisnis perunggasan Indonesia yang baru saja memasuki tahap recovery akibat krisis moneter dan kasus Avian Influenza.
Bila paha ayam masuk diduga akan mengganggu tatanan usaha perunggasan, sebagaimana pengalaman pada periode tahun 1998-2002, dimana produk tersebut dijual dengan harga sangat murah dengan mengandalkan aturan perdagangan bebas tanpa mengindahkan sistem perdagangan secara adil. Masyarakat perunggasan telah mengeluarkan energi yang sangat besar dalam menghadapi serangan paha ayam dari AS pada tahun 1998-2002 baik dalam upaya lobi maupun dalam upaya menentramkan keresahan peternak unggas. Bila impor paha ayam benar terjadi, yang pertama kali akan bangkrut adalah peternak komersial kemudian breeding farm, industri pakan dan pelaku usaha lainnya (TROBOS, Maret 2005).
Jika dicermati, sebenarnya sampai dengan tahun 2004, Indonesia tidak melakukan impor daging ayam (Tabel 1), sehingga jika di pasaran ditemui daging impor hal tersebut menunjukan adanya pemasukan daging ayam secara ilegal. Masuknya produk impor tersebut diduga akibat merebaknya kasus Avian Influenza (flu burung) yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk unggas nasional.  
Tabel 1. Perkembangan volume ekspor dan impor produk unggas tahun 1998-2004

No.
Jenis Komoditi
Tahun
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
1.
Ekspor








a. Daging Ayam (ton)
3.006,5
2.859,3
703,8
1.740,2
2.346,3
2.760,7
100,9

b.Telur konsumsi (ton)
0,0
0,0
77,7
449,5
948,8
482,6
107,9

c. DOC ayam bibit (000 ekor)
270,1
1.192,4
814,5
740,1
255,8
52,9
0,0

d.DOC ayam bibit (FS) (000 ekor)
-
-
255,6
63,3
370,1
452,5
1,0

e. Telur Tetas (ton)
0,0
722,7
140,4
18,5
74,0
302,2
19,8

f. Bulu bebek (ton)
26,7
331,2
274,4
276,5
410,7
231,5
269,4
2.
Impor








a.   Telur konsumsi (000 butir)
3.809,9
4.274,8
6.062,2
6.419,9
7.514,2
7.198,0
11.032,8

b.   Telur tetas (000 butir)
68,5
26.638,2
8.079,5
581,1
266,0
113,1
40,4

c.   Bulu bebek (ton)
-
-
538,3
490,0
705,9
1.238,6
864,5

Sumber : Ditjen Peternakan (Statistik Peternakan 2005)

            Dalam hal MDM (Mechanichal Deboned Meat), pihak asosiai pengusaha pengolah produk peternakan – NAMPA (National Meat Processing Association) tetap menghendaki impor. Alasannya, pihak NAMPA sangat kesulitan dalam pengadaan bahan baku termasuk daging ayam; selain pasokan terbatas harganya juga lebih mahal. Yusdja (2006) berpendapat bahwa impor CLQ dapat diterima tetapi dalam bentuk bahan baku olahan, misalnya tepung makanan ternak. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi budidaya unggas dan konsumsi hasil unggas. Menurut ketua NAMPA, impor MDM tidak akan mengganggu peternak kecil. Komoditas ini tidak dapat masuk ke pasar karena tidak dapat dimanfaatkan kecuali oleh perusahaan anggota NAMPA. Sementara itu para  produsen MDM domestik menyatakan pihaknya mampu memenuhi kebutuhan NAMPA. Meskipun demikian, NAMPA  tetap keberatan dengan pernyataan tersebut, karena belum adanya kesepakatan harga, diduga harga MDM lokal jauh lebih mahal dari MDM impor. Akan tetapi jika MDM bisa diimpor, akan menimbulkan peluang CLQ bisa diimpor karena bisa digunakan sebagai bahan baku MDM. Alasan ini yang menjadi keberatan bagi pihak FMPI, karena jika ini terjadi maka industri perunggasan akan hancur.
            Menanggapi hal ini, menteri Perindustrian dalam jumpa pers menegaskan bahwa dalam sebuah industri pemenuhan bahan baku diprioritaskan dengan memberdayakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, Yusdja (2006) mengusulkan adanya kriteria larangan impor (KLI). Dengan KLI barang yang akan diimpor tidak akan menjadi persoalan karena selama barang tersebut memenuhi kriteria larangan impor, maka barang tersebut harus ditolak. Untuk itu perlu dibangun KLI yang komprehensif sehingga KLI bisa menjadi acuan bagi siapa pun yang ingin mengimpor barang-barang yang terkait dengan produk peternakan.

Kebijakan Penanganan Impor Paha Ayam
Isu impor paha ayam sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000. Isu tersebut tenggelam seiring dengan kasus berita Avian Influenza di dunia dan keberhasilan pemerintah  bernegosiasi dengan para eksportir bahan pakan asal Amerika (Menteri Pertanian saat itu Dr. Bungaran Saragih). Seperti diketahui industri peternakan Indonesia mengimpor kedelai dan jagung dari Amerika, sehingga hal ini  dijadikan “senjata” untuk mencegah impor CLQ (POULTRY INDONESIA, Mei 2006). Alasan kehalalan merupakan alasan yang solid namun labil karena mudah dipenuhi sehingga perlu ada kontinuitas dan konsistensi argumen yang akan disampaikan kepada WTO bahwa impor paha ayam dapat merusak perunggasan domestik (MULJANI, H. dalam POULTRY INDONESIA, Mei 2006).
Berkaitan dengan isu impor paha ayam yang merebak kembali, Departemen Perdagangan dan instansi terkait hendaknya tetap waspada. Untuk itu dibutuhkan konsistensi dan komitmen yang kuat sebagai landasan pemerintah untuk pembatasan impor.  Ketergantungan terhadap produk impor akan menyebabkan terjadinya pengurasan devisa negara dan upaya mencapai kemandirian pangan akan semakin sulit. Oleh karena itu Indonesia perlu berupaya maksimal untuk mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri.
            Masalah impor daging sudah diatur oleh undang-undang dan apabila dijumpai daging yang tidak sesuai persyaratan dari manapun asal negaranya tetap harus ditolak (SUDARDJAT dalam POULTRY INDONESIA, Mei 2006). Peraturan yang dijadikan acuan Departemen Pertanian dalam menangani masalah impor paha ayam yaitu Surat Edaran Dirjen Peternakan tanggal 25 September 2000 tentang ketentuan impor daging ayam hanya diperbolehkan dalam bentuk karkas utuh. Impor daging ayam dalam bentuk karkas utuh harus dilakukan melalui overall review, khususnya berkaitan dengan pemenuhan persyaratan keamanan pangan dan kehalalan (Surat Menteri Pertanian No. 06/TN.420/A/IV/2002 tanggal 5 April 2002). Pelaksanaan overall review dilakukan dengan prinsip dasar bahwa produk berasal dari negara yang disetujui oleh pemerintah c.q Dirjen Peternakan, berasal dari unit usaha yang melakukan pemotongan halal,  penyembelihan dilakukan secara manual, dilakukan dibawah pengawasan Islamic Body yang telah diakreditasi MUI serta di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di negara asal. Departemen Perindustrian dan Perdagangan berpedoman pada SK No. 230/MPP/Kep/7/1997 tentang kebijakan impor dan ekspor tidak mengatur, mengawasi, melarang perdagangan paha ayam secara khusus.
Kekhawatiran masyarakat dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan antara Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sehingga pemerintah terkesan tidak konsisten dalam menerapkan aturan. Akibatnya masyarakat menjadi bingung dan khawatir secara berkepanjangan. Di lain pihak AS secara langsung atau tidak langsung selalu melakukan kegiatan mengarah ke pemasukan paha ayam ke Indonesia. Dalam merespon masuknya beberapa kontainer paha ayam di pelabuhan Tanjung Priok, Badan Karantina telah menyampaikan surat kepada Dirjen Bea dan Cukai untuk memusnahkan paha ayam yang masuk dari Amerika Serikat tersebut.
Pada tanggal 23 Desember 2004 Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan Nomor 600/PML.010/2004 tentang penetapan bea masuk (BM) impor paha ayam sebesar 25%. Peraturan ini telah membuat resah masyarakat perunggasan karena dengan BM hanya 25% CLQ akan dengan mudah membanjiri pasar domestik (TROBOS, Mei 2005). Hal ini beralasan karena usaha perunggasan Indonesia khususnya ayam ras belum mampu bersaing dengan produk impor yang bernuansa ’dumping’ atau ’barang limbah’, sehingga bila  Bea  Masuk (BM)  paha ayam hanya 25% akan  dimanfaatkan oleh importir dan dapat dipastikan peternak ayam ras Indonesia akan kembali terpuruk. Disisi lain industri dalam negeri masih dihadapkan dengan biaya produksi yang masih tinggi atau belum efisien karena sebagian besar komponen bahan baku pakan dan bibit masih tergantung impor. Selain itu, beberapa komponen bahan baku pakan juga dikenai PPN, sementara budidaya unggas di negara maju seperti AS sudah efisien dan didukung oleh teknologi modern, serta mendapat ’subsidi atau prestasi’ terselubung dari pemerintahnya. Pelaku usaha perunggasan pernah mengusulkan melalui berbagai asosiasi dan HKTI, agar BM paha ayam dinaikan hingga 80-120%. Pembebanan Bea Masuk 150% akan menjadikan komoditas dari AS tersebut layak bersaing dengan komoditas lokal dari segi harga. Simulasi pengenaan tarif bea masuk paha ayam dapat dilihat pada Tabel 2.


Tabel 2. Simulasi Pengenaan Tarif Bea Masuk Paha Ayam

No.
Uraian

Satuan
5%
25%
40%
80%
120%
1.
Harga paha ayam

US$/Ton
630
630
630
630
630
2.
Bea masuk

US$/Ton
32
158
252
504
756
3.
Jumlah PPN, PPh, Cost of Money (17%)
17%
US$/Ton
107
107
107
107
107
4.
Harga paha ayam di palabuhan

US$/Ton
769
895
989
1.241
1.493
5.
Keuntungan importer (5%)
5%
US$/Ton
38
45
49
62
75
6.
Harga paha ayam

US$/Ton
807
939
1.039
1.303
1.568
7.
Kurs

Rp/US$
9.300
9.300
9.300
9.300
9.300
8.
Harga paha ayam di importer

Rp/Kg
7.505
8.736
9.659
12.119
14.580
9.
Bila keuntungan grosir 10%
10%
Rp/Kg
751
874
966
1.212
1.458
10.
Maka harga paha impor di grosir

Rp/Kg
8.256
9.609
10.624
13.331
16.038
11.
Bila keuntungan pengecer 10%
10%
Rp/Kg
826
961
1.062
1.333
1.604
12.
Harga eceran paha aym impor

Rp/Kg
9.082
10.570
11.687
14.664
17.642

Catatan: Harga eceran daging ayam dalam negeri Rp 12.000-Rp 13.000/Kg
Sumber: Ditjen BP2HP, 2005 dalam TROBOS, Maret 2005

Hal lain yang harus menjadi pertimbangan terkait dengan impor produk unggas adalah fakta bahwa industri lokal dan berbagai kegiatannya telah terbukti mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja yang menghidupi sekitar 10 juta orang keluarganya. Investasi bidang perunggasan 2005 tercatat Rp 38,5 trilyun, dengan omset bisnis mencapai Rp 41,5 trilyun (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006). Diprediksikan lima tahun mendatang, investasi dan omsetnya akan mencapai 1,5 kali lebih besar dari saat ini. Hal inilah yang semestinya menjadi landasan pengambilan kebijakan perlu tidaknya kebijakan impor produk  unggas.
Selain itu investor dalam negeri seharusnya didukung oleh kebijakan yang kondusif, serta dilindungi secara sektoral sampai di daerah meliputi teknologi, manajemen, pengolahan dan industri agar lebih tangguh dan efsien dari agroindustri di hulu (up stream), produksi bahan baku di peternak (on farm) hingga pengolahan di hilir (down stream) (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006).
Indonesia harus mampu mengelola dan melindungi peternak unggas nasional dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia luar (Yudohusodo, 2005). Untuk itu diperlukan strategi yang tepat dalam menghadapi perdagangan global dan sekaligus membangun usaha perunggasan yang tangguh serta kerja keras dan kerjasama yang solid diantara semua pihak terkait. Selain itu perjuangan melawan impor paha ayam sangat tergantung pada kekompakan masyarakat perunggasan dan seluruh stakeholder terkait serta didukung pembenahan regulasi untuk menciptakan iklim kondusif bagi dunia perunggasan (SETIJANTO dalam TROBOS, Mei 2006).
Upaya yang mutlak dilakukan pemerintah adalah promosi dan proteksi. Upaya memproteksi komoditas tertentu masih dimungkinkan untuk dilakukan melalui beberapa mekanisme legal, diantaranya (i) SPS (Sanitary & Phytosanitary) terkait alasan kesehatan, (ii) Codex Alimentarius yang memberi toleransi atas kepentingan khusus suatu bangsa misalnya karena mayoritas muslim. Terbaru ada SP (Spesial product) dan SSM (Spesial Safeguard Mechanisme), yang memungkinkan negara berkembang melindungi produk-produk lokal tertentu dengan binding tariff. Pemberlakuan bound tariff yang tinggi pada produk tertentu dimaksudkan untuk melindungi usaha dalam negeri (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006).
Wewenang penanganan masalah impor paha ayam dalam hal teknis sepenuhnya berada pada Menteri Pertanian. Penyusunan kebijakan yang akan diambil harus memperhatikan beberapa hal diantaranya secara teknis harus reasonable, secara ekonomis harus feasible, secara keuangan harus menguntungkan dan secara sosial harus dapat diterima (SUHADJI dalam TROBOS, Mei 2006).
Bagi perindustrian hasil unggas merupakan bahan baku, secara prinsip Departemen Perindustian dan Perdagangan mempunyai prioritas untuk memberdayakan bahan baku dari dalam negeri (IDRIS dalam TROBOS, Februari 2006).

Kesimpulan dan saran
Dengan ditemukan beberapa kasus masuknya paha ayam (CLQ) dan polemik yang terjadi di masyarakat, pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan menolak impor paha ayam (CQ) dari Amerika Serikat berdasarkan pertimbangan bahwa paha ayam dari AS belum mampu memenuhi aspek aman, sehat, utuh dan halal (ASUH),  produksi domestik mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri serta untuk melindungi pasar di dalam negeri.
Dalam menghadapi perdagangan global sekaligus menciptakan iklim kodusif bagi dunia perunggasan diperlukan strategi yang tepat serta kerjasama yang solid antara masyarakat perunggasan dan semua stake holder terkait yang didukung oleh pembenahan regulasi antara instansi terkait terutama Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Agama dan Departemen Keuangan.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2005. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Kumpulan Undang-undang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hadiyanto. 2002. Problematika Impor paha Ayam Amerika. SINAR HARAPAN, Jumat 12 April 2002.
Kesehatan. 2005. Paha Ayam Asal AS Tak Layak Dikonsumsi. Majalah Kesehatan. 06 Oktober 2005.
Kompas. 2003. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. Kompas 26 Mei 2003.
Kompas. 2005. Impor Paha Ayam Bisa Hancurkan Peternakan Nasional. Kompas 9 Oktober. 2005.
Poultry Indonesia. 2006. CLQ yang Tak Kunjung Usai. Poultry Indonesia. Mei 2006.
Poultry Indonesia. 2005. Impor Paha Ayam AS Kembali Mengancam Peternakan Nasional. Poultry Indonesia. 11 Oktober 2005.
Media Indonesia. 2005. Ekonomi Makro: Mentan Bantah Rencana Impor Paha Ayam. Media Indonesia 9 Oktober 2005.
Republika. 2005. Mentan Bantah Rencana Impor Paha Ayam. Republika 9 Oktober 2005.
Trobos. 2005. Lagi, Peternakan Bakal Terjepit Paha. Majalah Trobos Maret 2005. No. 66 Tahun ke VI.
Trobos. 2005. Che El Qi Ilegal Terobos RI. Majalah Trobos April 2006. No. 79, Tahun ke VII.
Trobos. 2005. CLQ Bayangi Flu Burung, Memancing di air Keruh. Trobos, September 2005. No. 72, Tahun ke VI.
Trobos. 2005. Teka-Teki Sayap Ayam Misterius di Ujung Pandang. Majalah Trobos. Sisipan Nopember 2005.
Trobos. 2006. Hati-Hati Che El Qi. Majalah Trobos Februari 2006. No 77, Tahun ke VII.
Trobos. 2006. Impor Paha Ayam Tetap Ancaman Serius. Majalah Trobos Mei 2006. No.80, Tahun ke VII.
Yusdja. Y. 2006. MDM, sebuah kasus: Mengapa industri agribisnis bercerai-berai?. TROBOS, Januari 2006 No. 76 Tahun ke  VII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar