Kamis, 16 Juni 2011

Ascariasis

MASALAH ASCARIASIS PADA AYAM

Beriajaya1, Eny Martindah2, Imas Sri Nurhayati2
1Balai Besar Penelitian Veteriner
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan


ABSTRAK

Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang unggas dan disebabkan oleh Ascaridia galli. Cacing ini terdapat di usus dan duodenum hewan unggas. Pada ternak ayam sering menyerang baik tipe pedaging maupun tipe petelur, sedangkan pada ayam buras kemungkinan tertular lebih besar karena sistim pemeliharaan yang bebas berkeliaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi cacing A. galli diantaranya adalah umur, jenis ayam, dosis infeksi , tipe kandang, nutrisi, sistem pemeliharaan dan cuaca. Untuk melakukan pencegahan terhadap cacing ini maka harus diketahui faktor yang mempengaruhi infeksi tersebut. Unggas muda harus dipisahkan dari unggas dewasa dan tempat unggas berkeliaran harus mempunyai saluran air yang baik sehingga tidak terjadi penumpukan cairan di tanah dan tanah tidak menjadi lembab. Tempat unggas dilepas harus sering dirotasi. Secara periodik litter di tempat pakan dan minum harus sering dicampur dengan litter yang kering dari tempat lain. Infeksi yang berat dari cacing A. galli umumnya terjadi pada kandang litter yang dalam dan sangat lembab. Setiap akan memasukkan ayam baru dalam kandang litter, maka litter harus dibiarkan selama beberapa hari untuk penyuci hamaan dan pemanasan sehingga diharapkan litter menjadi kering dan telur yang mengandung larva infektif juga ikut mati. Secara berkala obat cacing dapat diberikan tergantung derajat infeksinya.

Kata kunci: Ascaridia galli, unggas, litter





PENDAHULUAN

Komoditas ternak unggas memegang peranan yang sangat penting dalam penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging unggas diperkirakan mencapai 1.164,40 ribu ton akan memberi kontribusi sebanyak 60,29 persen terhadap produksi daging secara nasional. Ayang pedaging merupakan produsen utama daging unggas yaitu mencapai 67,04 persen disusul berturut-turut ayam kampung, ayam petelur yang sudah diafkir dan itik sebesar 27,01; 4,04 dan 1,91 persen. Selain itu unggas juga memberi kontribusi yang sangat berguna dalam bentuk telur. Produksi telur pada tahun 2004 diperkirakan mencapai 666,40 ribu ton akan memberi kontribusi sebanyak 63,38 persen dari total produksi telur secara nasional yaitu mencapai 1051,40 ribu ton (DEPTAN, 2004).
Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang unggas dan disebabkan oleh cacing Ascaridia galli (Schrank, 1788) dengan sinonim A. lineata, A. perspicillum. Cacing ini terdapat di usus dan duodenum semua jenis unggas, guinea fowl, turkey, angsa dan beberapa jenis burung liar di semua bagian di dunia. Unggas ini  kemungkinan tertular cacing ascariasis lebih besar apabila unggas ini tidak dikandangkan. Selain itu iklim tropis dan kelembaban yang tinggi memberi kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur cacing dan ketahan hidup larva dan telur infektif di alam. Cacing ini merupakan cacing nematode yang ukurannya paling besar diantara jenis cacing pada unggas. Cacing jantan berukuran 50-76 mm, sedang yang betina 72-112 mm, mempunyai 3 bibir yang besar. Telurnya berbentuk oval, berukuran 73-92 µ sampai 45-57 µ (SOULSBY, 1982).

PREVALENSI
            Faktor yang menyebabkan unggas mudah tercemar infeksi cacing A. galli adalah unggas yang dibiarkan bebas berkeliaran. Beberapa data menunjukkan bahwa di daerah Zimbabwe, prevalen pada ayam yang  bebas berkeliaran adalah  48% pada yang muda dan 24% pada yang dewasa (PERMIN et al., 2002). Data yang hampir sama juga dilaporkan di Tanzania, prevalen pada yang muda adalah 69% dan pada yang dewasa 29% (MAGWISHA et al., 2002).  Selain itu pemeriksaan pasca mati pada 456 ayam kampung dari beberapa kota di Kenya  menunjukkan infeksi oleh cacing A. galli sebesar 10 % (IRUNGU et al., 2004). Data ini menunjukkan walau angka prevalennya lebih rendah tetapi tidak berarti ayam tersebut sehat karena ayam yang sama juga terinfeksi dengan beberapa jenis cacing yang lain. Data tahun 1994/1995 pada peternakan ayam di Denmark juga menunjukkan bahwa ayam dewasa terinfeksi cacing A. galli sebesar 63.8% (PERMIN et al., 1999).  Data ini menunjukkan bahwa resiko terbesar terhadap infeksi cacing terdapat pada peternakan ayam dengan sistim dilepas dipekarangan, tetapi resiko yang besar juga terdapat pada sistim kandang litter yang dalam. Kejadian akut ascaridiosis merupakan problema pada peternakan ayam yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar (GHOSH dan SINGH, 1994; AKOSO, 1993).

SIKLUS HIDUP
Telur dikeluarkan melalui tinja dan berkembang di dalam udara terbuka dan mencapai dewasa dalam waktu 10 hari atau bahkan lebih. Telur kemudian mengandung larva kedua yang sudah berkembang penuh dan larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang jelek. Telur tersebut dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi dapat mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam tanah yang kedalamannya sampai 15 cm yang kena sinar matahari.  Infeksi terjadi bila unggas menelan telur tersebut bersama makanan atau minuman. Cacing tanah dapat juga bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara menelan telur tersebut dan kemudian cacing tanah terbut dimakan oleh unggas.  Telur yang mengandung larva dua kemudian menetas di proventrikulus atau duodenum unggas.  Setelah menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama 8 hari. Kemudian larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4, masuk ke dalam mukosa dan menyebabkan hemoragi. Larva 4 akan mengalami ekdisis menjadi larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki lumen duodenum pada hari ke 17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu kurang lebih 28-30 hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat memasuki jaringan mukosa usus pada hari pertama dan menetap sampai hari ke 8-17  (RUFF dan NORTON, 1997). Pada ayam yang berumur kurang dari 3 bulan setelah larva memasuki duodenum kemudian mengalami perubahan (moulting) menjadi larva 3 dan larva 4 serta berkembang menjadi dewasa lebih kurang 5-6 minggu setelah telur tertelan ayam, sedangkan pada ayam yang berumur lebih dari 3 bulan periode tersebut sedikit lebih lama.


GEJALA KLINIS
            Gejala yang terutama dari infeksi cacing ini terlihat selama masa prepaten, ketika larva berada di dalam mukosa dan menyebabkan enteritis yang kataral, tetapi pada infeksi berat dapat terjadi hemoragi (URQUHART et al., 1987; SOULSBY, 1982). Unggas akan menjadi anaemia, diare, lesu, kurus, kelemahan secara umum dan produksi telur menurun. Selain itu infeksi berat juga dapat menyebabkan kematian karena terjadi penyumbatan usus (URQUHART et al., 1987). Pada pemeriksaan pasca mati terlihat peradangan usus yang hemoragik dan larva yang panjangnya 7 mm ditemukan dalam mukosa usus. Selain itu kadang-kadang ditemukan parasit yang sudah berkapur dalam bagian albumin dari telur.

PATOGENESIS
            Unggas muda lebih peka terhadap infeksi dibanding unggas dewasa atau unggas yang pernah menderita infeksi cacing A. galli sebelumnya. Defisiensi beberapa vitamin seperti A dan B terutama vitamin B 12, beberapa mineral dan protein merupakan predisposisi terhadap infeksi yang berat. Pemberian mangan (Mn) yang berlebih akan meningkatkan bobot badan dan level Mn dalam darah tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas dan banyaknya cacing A. galli dalam usus ayam (GABRASHANSKA et al., 1999). Selain itu pemberian Cobalt (Co) yang berlebih dalam dosis yang kecil akan meningkatkan bobot badan dan menurunkan mortalitas terhadap ascariasis (GABRASHANSKA et al., 2002). Pemberian kombinasi antara Zn-Co-Mn akan menurunkan jumlah cacing sebesar 20.4% dibanding ayam yang terinfeksi cacing tanpa pemberian kombinasi tersebut (GABRASHANSKA et al., 2004a). Pemberian kombinasi tersebut juga akan mempengaruhi rasio kelamin cacing dimana cacing jantan menjadi lebih banyak, penurunan daya estabilishment larva cacing, peningkatan daya hidup ayam dan berat badan (GABRASHANSKA et al., 2004b). TEODOROVA dan GABRASHANSKA (2002) dalam penelitian membandingkan antara pemberian ketiga elemen Cu, Co dan Mn menyimpulkan bahwa terapi yang optimal berisi bentuk garam murni dari Cu (Cu2(OH)3 Cl) dan ikatan organik dari Mn (2Gly.MnCl2.2H2O) untuk memperbaiki defisiensi mineral dan perubahan patologi, serta mengurangi angka kematian dan meningkatkan berat badan.
Ayam yang berumur lebih dari 3 bulan lebih resisten terhadap infeksi dan ini kemungkinan dihubungkan dengan peningkatan yang sangat nyata dari sel-sel goblet di dalam mukosa saluran pencernaan (TIURA et al., 2000). Selain itu kemungkinan ada zat mucin dari duodenum yang menghambat perkembangan larva cacing. Ayam yang terinfeksi cacing A. galli kemungkinan juga menjadi vektor yang potensial untuk penyebaran Salmonella enterica pada ayam (CHADFIELD et al., 2001). Selain itu infeksi cacing A. galli juga mengganggu program vaksinasi terhadap Newcatle disease (ND). Unggas yang diberi vaksin ND dan dibiarkan terinfeksi cacing A. galli akan menyebabkan penurunan titer antibodi setelah ditantang dengan virus ND (HORNING et al., 2003). Oleh karena itu dalam program vaksinasi ND sebaiknya ayam dalam kondisi sehat dan tidak terinfeksi cacing.
Kebalikan efek terlihat antara Plasmodium gallinaceum dan A. galli pada ayam. Bila ayam sudah terinfeksi P. gallinaceum maka infeksi oleh cacing A. galli jadi berkurang dan menurun daya establishnya (JUHL dan PERMIN, 2002). Negatif interaksi juga terlihat antara Pasturella multocida dan A. galli. Ayam yang terinfeksi A. galli akan menjadi peka terinfeksi kolera unggas yang disebabkan oleh P. multocida (DAHL et al., 2002)

KEPEKAAN AYAM
Kepekaan ayam terhadap infeksi cacing ascaris sangat dipengaruhi oleh umur (SOULSBY, 1982), jenis ayam (PERMIN dan RANVIG, 2001; GAULY et al., 2001, 2002; SCHOU et al., 2003), dosis infeksi (IKEME, 1971a), tipe kandang (SOULSBY, 1982), nutrisi (IKEME, 1971c; SOULSBY, 1982; PERMIN et al., 1998), sistem pemeliharaan (PERMIN dan RANVIG, 2001) dan cuaca (KUMARI dan THAKUR, 1999). Ayam yang lebih mudah lebih rentan terhadap infeksi cacing A. galli dibandingkan ayam yang dewasa atau yang telah mendapat infeksi sebelumnya (SOULSBY, 1982; HE, 1990). Ayam yang berumur diatas 3 bulan dianggap lebih resisten terhadap infeksi dan hal ini berhubungan dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet di dalam mukusa usus (SOULSBY, 1982). Hal yang bertolak belakang menunjukkan bahwa umur ayam hanya sebagian kecil mempengaruhi terhadap resistensi terhadap A. galli karena ada juga ayam yang berumur muda tetapi mengandung sedikit cacing (IDI et al., 2004). Hal yang sama juga menunjukkan bahwa umur tampaknya tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap resistensi terhadap infeksi cacing A. galli pada ayam petelur (GAULY et al., 2005). HE (1990) menghubungkan pengaruh umur terhadap kekebalan alamiah dengan fenomena polimerisasi jaringan ikat sehingga jaringan ikat menjadi terlalu keras untuk dipenetrasi oleh larva cacing.
Penelitian untuk membandingkan resistensi terhadap infeksi A. galli dilakukan pada ayam Lohman Brown (LB) dan Danish Landrace (DL). Jumlah cacing dewasa dan telurnya lebih banyak terlihat pada DL dibandingkan pada ayam LB selama infeksi primer. Ini menunjukan bahwa breeding untukk mencari galur ayam yang resisten terhadap A. galli mungkin dapat dilakukan (PERMIN dan RANWIG, 2001). GAULY et al (2002) menyatakan bahwa rata-rata jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT) lebih tinggi pada ayam Lohman putih dibanding Lohman coklat dimana keduanya diinfeksi tunggal 250 telur infektif cacing A. galli.
Akumulasi infeksi cacing A. galli terjadi pada unggas yang dipelihara dalam kandang liter (sekam) yang tebal terutama karena terjadi peningkatan kelembaban (SOULSBY, 1982). Infeksi berat A. galli menyebabkan penurunan produksi telur pada kandang litter di breeder dan layer komersial.
Ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein 10% dan diinfeksi dengan 10, 100 dan 1000 telur A. galli per hari selam enam minggu tanpa diberi suplemen vitamin menunjukkan berat badan yang lebih rendah dibanding yang diberi suplemen vitamin (IKEME, 1971c). PERMIN (1997) membuktikan bahwa infeksi A. galli pada ayam yang dibei protein 14% menunjukkan berat badan yang lebih rendah dibanding denan kelompok yang diberi protein 18%.
Menurut KUMARI dan THAKUR (1999) ada korelasi positif antara populasi cacing A. galli pada ayam dengan suhu, curah hujan dan kelembaban. Umumnya jumlah cacing lebih banyak pada musim hujan karena telur dapat berkembang pada lingkungan yang lembab.

PENGARUH TERHADAP PENCERNAAN
            Infeksi parasit menyebabkan perubahan patologi pada saluran pencernaan berupa proliferasi jaringan, peradangan akut atau kronis (CASTRO, 1990). Kerusakan epitel menyebabkan munculnya sel-sel yang masih muda yang belum dapat berfungsi untuk menyerap makanan. Penyumbatan lumen usus dapat terjadi apabila banyak cacing berakumulasi dalam jumlah yang besar. Akibat dari penyumbatan  menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan menghalangi aliran makanan. Bila terjadi berminggu-minggu akan menimbulkan kematian.
            Pengamatan histopatologi pada epitel usus terlihat kerusakan pada villi dan atrofi. Pada permukaan mukosa usus  terjadi nekrosa dan membran mukosa kehilangan kemapuan menyerap makanan (IKEME, 1971b). Pada infeksi berat terjadi enteritis dan hemoragi sehingga ayam menjadi anaemia dan diare. Ayam terlihat kurang bugar, kurus dan lemah serta produksi telur menurun (SOULSBY, 1982). Infeksi cacing juga menyebabkan gangguan sekresi hormon dan enzim yang berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan. Selain itu adanya peradangan menyebabkan pelepasan zat-zat seperti histamin, serotonin, prostaglandin, leukotrien, peptida dan lain-lain yang dapat merangsang peningkatan motilitas otot-otot polos. Peningkatan motilitas otot saluran pencernaan menyebabkan gejala muntah dan diare.
            Gangguan penyerapan di usus terjadi karena kerusakan jaringan, pemanfaatan zat-zat hara oleh cacing dan anoreksia. Cacing dalam jumlah besar akan menyebabkan penurunan berat badan.

ANTELMINTIKA
            Antelmintika adalah obat untuk membunuh cacing atau mengurangi jumlah cacing dalam tubuh. Berdasarkan  cara kerjanya maka antelmintik dibagi dalam 5 kelompok (PERMIN dan HANSEN, 1998);
  1. Benzimidazole dan pro-benzimidazoles. Antelmintik ini bekerja menghambat fungsi mikrotubuli sehingga fungsi seluler cacing rusak dan mati. Antelmintik kelompok ini adalah albendazole, thiabendazole, fenbendazole, parbendazole, flubendazole, febantel dan thiophanat.
  2. Neuromuscular acting compounds. Antelmintik ini bekerja pada reseptor asetinkolin d dalam sistim syaraf cacing menyebabkan depolarisasi yang persisten pda sel otot dan sebagai akibatnya terjadi kelumpuhan pada cacing sehingga mudah dikeluarkan dari usus oleh gerakan peristaltik. Antelmintik kelompok ini adalah levamisol, pirantel dan morantel.
  3. GABA acting compounds. Antelmintik ini bekerja pada sistim syaraf yang menyebabkan syaraf presinap dirangsang untuk melepas Gama Amino Butyric Acid (GABA).  Sebagai akibatnya cacing menjadi lumpuk dan lemah sehingga dapat dikeluarkan dari usus oleh peristaltik. Antelmintik kelompok ini adalah piperazin, avermectin (ivermectin, doramectin, moxidectin). Avermectin mempunyai fungsi untuk membunuh endoparasit dan ektoparasit.
  4. Salisilanid dan senyawa nitrofenol. Antelmintik ini setelah diserap mudah melekat pada protein plasma sehingga dapat digunakan untuk membunuh cacing penghisap darah. Antelmintik kelompok ini adalah klosantel, niklosamid, disofenol, bromsalan.
  5. Inhibitor asetil kolin esterase. Antelmintik ini mengandung organofosfat seperti diklorvos dan neguvon. Antelmintik dalam kelompok 4 dan 5 sangat terbatas penggunaannya karena mempunyai spektrum yang sempit.

Beberapa jenis antelmintika yang sering dipakai diantaranya:
  1. Piperazine. Antelmintik ini sangat efektif untuk memberantas cacing A. galli. Antelmintik ini dapat diberikan dalam pakan atau minum. Dosis pemberian 300-440 mg per kg pakan atau 440 mg piperazin sitrat per liter. Obat ini tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan atau produksi telurnya.
  2. Hygromycin B pada dosis 8 g per ton selama 8 minggu sangat efektif memberantas cacing A. galli.
3.                  Albendazol dengan dosis 3,75 mg/kg berat badan efektif untuk memberantas cacing A. galli.
  1. Fenbendazol. Untuk kondisi lapang maka dosis 15-20 mg/kg BB selama 3 hari berturut-turut dapat digunakan memberantas infeksi cacing pada ayam atau 30-60 ppm dalam pakan selama 6 hari berturut-turut, tetapi Yazwinski et al.(2002) menunjukkan bahwa dengan dosis yang lebih rendah yaitu 16 ppm dalam pakan selama 6 hari berturut-turut dapat memberantas cacing ascaris pada turkey.
  2. Levamisol 37,5 mg/kg dalam air minum atau makanan. Satu kaplet untuk 10 ekor ayam yang beratnya 1 kg dilarutkan dalam air 2 liter minum atau dihancurkan dalam makanan 1 kg.

PENCEGAHAN

            Ketika unggas ditaruh diluar kandang, unggas muda harus dipisahkan dari unggas dewasa dan tempat unggas berkeliaran harus mempunyai saluran iar yang baik sehingga tidak terjadi penumpukan cairan di tanah dan tanah tidak menjadi lembab. Rotasi tempat unggas dilepas harus sering dilakukan.
            Ayam yang dipelihara dalam kandang litter dan harus cukup ventilasi. Secara periodik litter di tempat pakan dan minum harus sering dicampur dengan litter yang kering dari tempat lain. Infeksi yang berat dari cacing A. galli umumnya terjadi pada kandang litter yang dalam dan sangat lembab.
            Setiap akan memasukkan ayam baru dalam partai besar dalam kandang litter, maka litter harus dibiarkan selama beberapa hari untuk penyuci hamaan dan pemanasan sehingga diharapkan litter menjadi kering dan telur yang mengandung larva infektif juga ikut mati.

PENUTUP

            Ascariasis pada unggas merupakan masalah yang mengganggu produktivitas daging dan telur pada unggas. Penanggulangan hanya dapat dilakukan dengan menerapkan metoda pencegahan yang ketat sehingga pengobatan dengan obat cacing tidak harus dilakukan secara terus menerus karena dikuatirkan akan terjadi resistensi antelmintik. Faktor-faktor yang menimbulkan penyakit perlu dihindari agar ternak unggas kemungkinan kecil tertular cacing A. galli.

PUSTAKA

AKOSO, B.T. 1993. Manual kesehatan unggas bagi petugas teknis penyuluh dan peternak. Kanisius. Yogyakarta.

CASTRO, G.A. 1990. Intestinal pathology. Di dalam: Parasites: Immunity and Pathology. The consequences of parasitic infection in mammals. Ed. BEHNKE J.M. Philadelphia. Taylor and Francis.

CHADFIELD, M., A. PERMIN, P. NANSEN and M. BISGAARD. 2001. Investigation of the parasitic nematode Ascaridia galli (Shrank 1788) as a potential vector for Salmonella Enterica dissemination in poultry. Parasitol. Res. 87: 317-325.

DEPTAN. 2004. Buku saku peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.

DAHL, C., A. PERMIN, J.P. CHRISTENSEN, M. BISGAARD, A.P. MUHAIRWA, K.M. PETERSEN, J.S. POULSEN and A.L. JENSEN. 2002. The effect of concurrent infections with Pasteurella multocida and Ascaridia galli on free range chickens. Vet. Microbiol. 86(4):313-324.

GABRASHANSKA, M., S. TEPAVITCHAROVA, C. BALAREW, M.M. GALVEZ-MORROS and P. ARAMBARRI. 1999. The effect of excess dietary manganese on uninfected and Ascaridia galli infected chicks. J. Helminthol. 73(4):313-316.

GABRASHANSKA, M., S.E. TEODOROVA and M. MITOV. 2002. The effect of cobalt compounds on uninfected and Ascaridia galli-infected chickens: a kinetic model for Ascaridia galli populations and chicken growth. J. Helminthol. 76(4): 303-310.
GABRASHANSKA,  M., S.E. TEODOROVA, M..M. GALVEZ-MORROS, N.  TSOCHEVA-GAYTANDZHIEVA and M. MITOV. 2004a. Administration of Zn-Co-Mn basic salt to chickens with ascaridiosis. I. A mathematical model for Ascaridia galli populations and host growth with and without treatment.  Parasitol. Res. 93(3): 235-41.

GABRASHANSKA,  M., S.E. TEODOROVA, M..M. GALVEZ-MORROS, N.  TSOCHEVA-GAYTANDZHIEVA, M. MITOV,  S. ERMIDOU-POLLET and S. POLLET. 2004b. Administration of Zn-Co-Mn basic salt to chickens with ascaridiosis. II. Sex ratio and microelement levels in Ascaridia galli and in treated and untreated chickens. Parasitol. Res. 93(3): 242-247.

GAULY, M., C. BAUER, C. MERTENS and G. ERHARDT. 2001. Effect and repeatability of Ascaridia galli egg output in cockerels following a single low dose infection. Vet. Parasitol. 96(4): 301-307.

GAULY, M., C. BAUER, R. PREISINGER and G. ERHARDT. 2002. Genetic differences of Ascaridia galli egg output in laying hens following a single dose infection. Vet. Parasitol. 103: 99-107.

GAULY M., T. HOMANN and G. ERHADT. 2005. Age-related differences of Ascaridia galli egg output and worm burden in chickens following a single dose infection. Vet. Parasitol. 128(1-2):141-148.

GHOSH, J.D. and J. SINGH. 1994. Acute Ascaridiosis in chickens. A report. Indian Vet. J. 71: 717-719.

HE, S. 1990. Imunologi Parasit. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

HORNING G., S. RASMUSSENN, A. PERMIN and M. BISGAARD. 2003. Investigation on the influence of helminth parasites on vaccination of chickens against Newcastle disease virus under village conditions. Trop. Anim. Hlth. Prod. 35: 415-424.

IDI A., A. PERMIN and K.D. MURRELL. 2004. Host age only partially affects resistance to primary and secondary infections with Ascaridia galli (Schrank, 1788) in chickens. Vet. Parasitol. 122(3): 221-231.

IKEME, M.M. 1971a. Effect of different levels of nutrition and continuing dosing of poultry with Ascaridia galli eggs on the subsequent development of parasite population. Parasitol. 63: 233-250.

IKEME, M.M. 1971b. Observation  on the pathogenicity and pathology of Ascaridia galli. Parasitol. 63: 169-179.

IKEME, M.M. 1971c. Weight changes in chickens placed on different levels of nutrition and varying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs. Parasitol. 63: 251-260.

IRUNGU, L.W., R.N. KIMANI and S.M. KISIA. 2004. Helminth parasites in the intestinal tract of indigenous poultry in parts of Kenya. J. S. Afr. Vet. Assoc. 75(1): 58-59.

JUHL, J. and A. PERMIN. 2002. The effect of Plasmodium gallinaceum on a challenge infection with Ascaridia galli in chickens. Vet Parasitol. 105(1): 11-19.

KUMARI, R. and S. THAKUR. 1999. Infection pattern of nematode Ascaridia galli in Gallus gallus domesticus. J. Ecobiol. 11: 277-283.

MAGWISHA, H.B., A.A. KASSUKU, N.C. KYVSGAARD and A. PERMIN. 2002. A comparison of the prevalence and burdens of helminth infections in growers and adult free-range chickens.  Trop. Anim. Hlth. Prod. 34(3): 205-214.

PERMIN A. 1997. Helminths and helminthosis in poultry with special emphasis on Ascaridia galli in chickens. PhD thesis. Denmark: The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen.

PERMIN A. and J.W. HANSEN. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. FAO Animal Health Manual No.4. Rome.

PERMIN A., P. NANSEN, M. BISGAARD and F. FRANDSEN. 1998. Ascaridia galli infection in the free range layers fed on diets with different protein content. Br. Poult. Sci. 39: 441-445.

PERMIN, A. and H. RANVIG. 2001. Genetic resistance to Ascaridia galli infections in chickens. Vet. Parasitol. 102: 101-111.

PERMIN, A., M. BISGAARD, F. FRANDSEN, M. PEARMAN, J. KOLD and P. NANSEN. 1999. Prevalence of gastrointestinal helminths in different poultry production systems. Br. Poult. Sci. 40(4): 439-443.

PERMIN, A., J.B. ESMANN, C.H. HOJ, T. HOVE and S. MUKARATIRWA. 2002. Ecto-, endo- and  haemoparasites in free-range chickens in the Goromonzi District in Zimbabwe. Prev.Vet. Med. 54(3): 213-224.

RUFF, M.D. and R.A. NORTON. 1997. Nematodes. Di dalam: Diseases of poultry. Ed. CALNECK, W.B. H.J. BARNES, C.W. BEARD McDOUGALD, Y.M. SAIF. 10th Ed. Iowa: Iowa State University Press.

SCHOU, T., A. PERMIN, A. ROEPSTORFF, P. SORENSEN and J. KJAER. 2003. Comparative genetic resistance to Ascaridia galli infections of 4 different commercial layer-lines. Br. Poult. Sci. 44(2): 182-185.

SOULSBY, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods and protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed. Bailliere, Tindall, London.

TEODOROVA, S.E. and M. GABRASHANSKA. 2002. Optimal treatment of Ascaridia galli-infected chickens with salts of trace elements and a kinetic model for chicken growth. J. Helminthol. 76(1): 79-85.

TIURIA S., F. ATHAILLAH, B.P. PRIOSOERYANTO, F. SATRIJA, E.B. RETNANI dan Y. RIDWAN. 2000. Pengaruh infeksi cacing Ascaridia galli terhadap respon sel goblet dan sel mast pada usus halus ayam petelur. Majalah Parasitologi Indonesia 13: 40-48.

URQUHART, G.M., J. ARMOUR, J.L. DUNCAN, A.M. DUNN and F.W. JENNING. 1987. Veterinary Parasitology. Second Ed. England: Longman Scientific and Technical.

YAZWINSKI T.A., C. TUCKER, A. STELZLENI, Z. JOHNSON, J. ROBINS, K. DOWNUM, M. FINCHER, J.  MATLOCK and H.D. CHAPMAN. 2002.  Subclinical effects and fenbendazole treatment of turkey ascaridiasis under simulated field conditions. Avian Dis. 46(4): 886-892.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar