Rabu, 15 Juni 2011

Ekstraks Mengkudu terhadap Cacing Haemonchus contortus

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MENGKUDU (MORINDA CITRIFOLIA  LINN) PADA DOMBA TERHADAP CACING HAEMONCHUS CONTORTUS

Imas Sri Nurhayati1, Fajar Satrija 2 dan Yusuf Ridwan 2

ABSTRAK
Infeksi cacing Haemonchus contortus merupakan salah satu masalah serius dalam upaya pengembangan peternakan di Indonesia. Infeksi cacing ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar berupa penurunan berat badan, kemajiran dan kematian. Kombinasi manajemen peternakan dan pengobatan dengan anthelmintik adalah pilihan terbaik untuk pengendalian haemonchosis, akan tetapi anthelmintik sintetis relatif mahal untuk peternak skala kecil dan tidak selalu ada di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn) terhadap cacing Haemonchus contortus. Sebanyak 20 ekor domba jantan lokal yang diinfeksi secara buatan dengan 10.000 ekor larva infektif Haemonchus contortus dibagi menjadi lima kelompok dan diberi perlakuan: tidak diberi ekstrak buah mengkudu (T0), diberi ekstrak 0,1563 gr/kg bb (T1), diberi ekstrak 0,3125 gr/kg bb (T2), diberi ekstrak 0,625 gr/kgbb (T3) dan diberi ekstrak 1,25 gr/kg bb (T4). Ekstrak mengkudu diberikan pada minggu ke empat. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur cacing dan jumlah cacing dewasa. Rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok dengan analisis data ANOVA. Hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh yang tidak nyata (P> 0,05) terhadap jumlah telur cacing dan cacing dewasa.

Kata kunci : Ekstrak Morinda citrifolia Linn, Haemonchus contortus, domba
ABSTRACT
Haemonchus contortus infection is a serious problem for livestock development in Indonesia. The infection causes big economical disadvantage due to decrease of production, infertility and mortality. A combination between livestock management and anthelmyntic remedy is a choice to control haemonchus, but synthetic anthelmyntic is relatively expensive for small live stock and not available widely in the market. The purpose  of this research was to identify effectiveness of   Morinda citrifolia Linn extract to Haemonchus contortus. Twenty sheep were infected by 10.000 infective larvae of Haemonchus contortus which divided into five groups i.e. no extract (T0), 0.1563 grams extract per kg bodyweight (T1), 0.3125 grams extract per kg bodyweight (T2), 0.625 grams extract per kg bodyweight (T3), and 1.25 grams extract per kg bodyweight (T4). The Morinda citrifolia Linn extract was injected on the seventh weeks after infection of larvae. Parameter being observed were  egg count  and worm count. The statistical analysis being used was ANOVA method. The result showed no difference among the treatments.

Key words : Extract of Morinda citrifolia Linn, Haemonchus contortus, sheep


PENDAHULUAN
Infeksi cacing Haemonchus contortus merupakan salah satu masalah serius dalam upaya pengembangan peternakan di Indonesia. Infeksi cacing ini menimbulkan kerugian ekonomi disebabkan oleh penurunan kuantitas dan kualitas produksi, disamping itu dapat menyebabkan kematian dan kemajiran (Fabiyi, 1986; Nansen, 1986). Infeksi cacing Haemonchus contortus dapat mengakibatkan penurunan berat badan sampai 10% pada domba. Ronohardjo et al. (1985) menaksir kerugian akibat Haemonchus contortus di Indonesia diduga sebesar 7,04 juta dolar Amerika  tiap tahunnya.
Pengendalian infeksi cacing yang umum dilakukan yaitu dengan perbaikan tata laksana peternakan dan pemberian anthelmintika secara teratur setiap dua bulan (Kusumamiharja, 1992). Anthelmintika pada umumnya berasal dari negara maju  yang memiliki dosis, daya kerja serta efisiensi yang telah diketahui dengan baik melalui penelitian yang lama dan mahal, sehingga obat-obatan tersebut harganya mahal dan tidak mudah diperoleh di negara-negara berkembang. Penggunaan obat-obat tradisional sebagai obat alternatif pengganti anthelmintika sintetis merupakan salah satu pertimbangan yang tepat.
Indonesia kaya akan tanaman obat yang telah dipakai berabad-abad lamanya namun banyak diantaranya belum terbukti secara alamiah khasiat yang terkandung dalam tanaman obat tersebut. Di antara berbagai tanaman yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan dan sebagai tanaman obat yaitu mengkudu (Morinda citrifolia Linn). Dilaporkan pula bahwa tanaman tersebut secara turun temurun digunakan sebagai obat cacing pada domba di berbagai daerah di pulau Jawa (Dharma, 1985). Khasiat buah mengkudu sebagai anthelmintika untuk membunuh cacing unggas dan babi telah dibuktikan secara in vitro  oleh Priyanto (1994). Tanaman ini dalam bentuk serbuk telah dibuktikan secara in vivo mempunyai aktivitas anthelmintika terhadap cacing Haemonchus contortus (Satrija, 1998).
Selain sediaan yang sudah ada, diperlukan formula lain yang lebih sederhana agar obat dapat diberikan dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mempermudah proses pemberian obat. Salah satu formula tersebut yaitu dalam bentuk ekstrak.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh ekstrak  buah mengkudu sebagai anthelmintika tradisional terhadap Haemonchus contortus secara in vivo pada ternak domba.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan November 1999 sampai dengan Februari 2000 (12 minggu).
Dua puluh ekor domba ekor gemuk jantan berumur 6-8 bulan dengan berat badan rata-rata 12-18 kg yang telah dibebascacingkan dengan Ivermectin 0,2 ml/kgbb dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan masing-masing tidak diberi ekstrak buah mengkudu (T0), diberi ekstrak mengkudu 0,1563 gr/kg bb (T1), 0,3125 gr/kg bb (T2), 0,625 gr/kgbb (T3) dan 1,25 gr/kg bb (T4). Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor. Pakan yang diberikan berupa rumput Gajah yang telah dilayukan dan diberikan air minum secara ad libitum. Domba diinfeksi secara buatan dengan kepadatan 10.000 larva infektif (L3) H. contortus pada minggu ke-7 penelitian pada saat telur tiap gram tinja (TTGT) mencapai nilai nol. Pada minggu ke-11 setelah infeksi dilakukan pemberian ekstrak buah mengkudu pada masing-masing kelompok perlakuan.  Ekstrak buah mengkudu diperoleh dengan cara mengekstraksi serbuk mengkudu menggunakan alat soxlet extractor dengan khloroform sebagai pelarut pada suhu 40oC. Penghitungan TTGT dilakukan setiap minggu sedangkan  pada minggu ke-12 dilakukan setiap hari dengan metode Mc. Master (Hansen dan Perry, 1990). Pada minggu ke 12 domba disembelih untuk menghitung cacing yang ada dalam abomasums.
Parameter yang dipantau meliputi penurunan produksi telur (Fecal Egg Count Reduction) (Saeki et al., 1995) dan penurunan cacing dewasa post mortem (Worm Count Reduction) (Power et al., 1982) dengan rumus masing-masing:
% FECR = Rataan TTGT pada kontrol – Rataan TTGT yang diobati x 100 %
Rataan TTGT pada kontrol
% WCR = Rataan cacing pada kontrol – Rataan cacing yang diobati x 100%
Rataan cacing pada kontrol
Penghitungan cacing dewasa post mortem dilakukan dengan cara segera mengeluarkan abomasum setelah domba disembelih lalu menyayat curvatura mayor.  Abomasum dan isinya kemudian dicuci dengan air dan ditampung sampai volumenya mencapai dua liter. Sebanyak 10 % sampel isi abomasum diambil 3x dan semua cacing yang ada dihitung dengan rumus:
Y= Xi/3 x 10


Keterangan:
Y : jumlah cacing
Xi : jumlah cacing tiap 200 ml sample (Hansen dan Perry, 1990)
Mukosa abomasum dikerok kemudian hasil kerokan dicerna dengan pepsin HCl serta diinkubasikan pada suhu 370C selama 2 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan saringan yang berdiameter 35 mikron (Hansen dan Perry, 1990). Larva yang terbebas dari jaringan dilihat di bawah mikroskip stereo dan dihitung jumlahnya. Jumlah total cacing diperhitungkan sebagai jumlah cacing pada cairan dan jumlah cacing hasil kerokan  abomasum.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak mengkudu terhadap cacing Haemonchus contortus dilakukan uji analisa sidik ragam data jumlah cacing pada tiap perlakukan dibandingkan terhadap kontrol (ANOVA) (Gaspersz, 1995) .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penghitungan jumlah cacing dewasa post mortem disajikan pada Tabel 1. Hasil analisa menunjukan adanya pengaruh yang tidak nyata (P> 0,05) terhadap penurunan jumlah cacing jika dibandingkan dengan control.
Tabel 1. Rata-rata jumlah cacing Haemonchus contortus setelah pemberian ekstrak buah mengkudu serta nilai reduksinya.

Kelompok
Jumlah Cacing (X±SD)
Reduksi (%)
To
420,83±65,94
-
T1
686,67±214,66
-63,17
T2
599,17±234,81
-42,38
T3
258,33±108,84
38,60
T4
360,83±142,42
14,26

Analisa perbandingan jumlah TTGT sebelum dan sesudah pemberian ekstrak buah mengkudu disajikan pada Tabel 2. Hasil analisa menunjukan adanya pengaruh yang tidak nyata terhadap penurunan jumlah telur cacing (P> 0,05).
Tabel 2. Rataan jumlah telur tiap gram tinja sebelum dan sesudah pemberian ekstrak   
              buah  mengkudu serta nilai reduksinya

Kelompok
Telur Tiap gram Tinja
Sebelum
Sesudah
Reduksi (%)
T0
3033,25
4462,50
-
T1
3966,75
4625,00
-26
T2
1483,30
2900,00
-187
T3
3062,50
3554,25
-170
T4
4325,00
2308,25
22

            Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Satrija (1998), dimana mengkudu diproses hanya sebagai serbuk buah mengkudu. Sebuk terbukti efektif membunuh Haemonchus contortus pada domba yang diinfeksi secara buatan. Beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya antara lain bentuk sediaan buah mengkudu. Diduga ekstraksi buah mengkudu yang dilakukan pada penelitian ini telah menurunkan kandungan zat aktif dalam ekstrak  yang meliputi alkaloid, saponin, flavonoida, antrakuinon, soranjidol, senyawa-senyawa metil, asetil ester dari asam-asam kapril, quinone, morindadiol, morindon, morindin, triterpenoid dan xeronine. Menurut Voigt (1994) bahan ekstraksi yang tertimbun dalam labu tempat ekstraksi mengalami suatu beban panas dalam jangka waktu yang cukup lama. Senyawa-senyawa glikosida dan alkaloid yang terkandung dalam buah mengkudu ini bersifat  peka terhadap suhu, dengan demikian diperkirakan ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini sudah mengalami perubahan dan sudah tidak aktif lagi.
Buah mengkudu mengandung zat-zat dalam bentuk senyawa komplek yang bersifat anthelmintik yang diperkirakan mempunyai kinerja yang bersifat sinergis (Voigt, 1994). Pada proses ekstraksi secara tidak sengaja terjadi pemisahan zat-zat yang membentuk senyawa komplek dengan sistem kerja sinergis. Proses ekstraksi akan menarik kelompok zat yang berbeda sesuai dengan pelarut yang digunakan dengan demikian kinerja dari zat-zat tersebut menurun. Zat-zat yang melindungi zat aktif pada sediaan yang mengalami ekstraksi diperkirakan sudah tidak ada sehingga zat-zat aktif akan cepat terdegradasi sebelum sampai diabomasum. Tetapi ekstrak buah mengkudu ini efektif terhadap Hymenolepis nana pada mencit (Asoen, 2000). Dengan demikian diperkirakan proses pencernaan ganda pada hewan ruminansia berpengaruh pula terhadap zat aktif yang terkandung dalam ekstrak.
Proses metabolisme oleh mikroorganisme dalam rumen dapat juga menyebabkan perubahan pada zat aktif, dalam hal ini alkaloid dan antrakuinon yang telah aktif pada dua puluh empat jam terurai menjadi senyawa tidak aktif (Maziah, 2000). Hal tersebut dibuktikan dengan pengujian kromatographi lapis tipis dari serbuk buah mengkudu dalam cairan rumen yang telah dipanaskan sebagai kontrol. Hasil kromatogram menunjukan adanya perbedaan bercak untuk alkaloid dan antrakuinon antara yang diinkubasi 24 jam dengan 48 jam dengan kontrol yang menunjukan telah terjadinya senyawa baru (Hekmahsari, 2000). Menurut Smith dan Millburn (1976) kebanyakan senyawa asing mengalami tranformasi metabolik menjadi satu atau beberapa produk metabolik. Proses metabolik ini memegang peranan penting dalam aksi terapeutik dan toksik yang dimiliki oleh senyawa tersebut. Kondisi cairan rumen yang anaerobik dan mikrofloranya dapat menyebabkan perubahan  aksi terapeutik atau toksik yang dimiliki oleh senyawa tersebut serta dapat menyebabkan terjadinya transformasi biokimiawi dari suatu zat yang masuk kedalamnya (Jenkins, 1982). Transformasi ini dapat terjadi dengan berbagai reaksi diantaranya reaksi hidrolisis, reduksi-oksidasi, dekarboksilasi, dealkilasi, dehalogenasi, deaminasi dan fisi cincin aromatik.
KESIMPULAN DAN SARAN
            Hasil penelitian menunjukan tidak ada pengaruh dari pemberian ekstrak mengkudu sebagai anthelmintik. Namun ada kecenderungan efektivitas yang meningkat pada  perlakuan ekstraks buah mengkudu dengan dosis 1,25 gr/kg bb (T4).
            Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metabolisme mikroba rumen terhadap ekstrak buah mengkudu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode fistula pada abomasum.
            Data yang diperoleh dari penelitian ini mempunyai keragaman yang cukup besar, hal ini disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit pada masing-masing perlakuan. Hal ini merupakan masukan bagi penelitian lainnya agar pelaksanaan penelitian menggunakan materi penelitian yang cukup banyak agar sampel yang digunakan lebih banyak sehingga data yang diperoleh menjadi lebih akurat.
DAFTAR  PUSTAKA
Asoen, L. K .Z. J. 2000. Ekstrak Khlorofrom Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn)  Sebagain Anthelmintik terhadap Hymenolepis nana pada Mencit (Mus musculus albinus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.

Dharma, A.P. 1985. Tanaman Obat Tradisional Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Fabiyi, J. P. 1986. Production Losses and Control of Helminths in Ruminants of Tropical Regions. In Howell, M.J. (ed) Parasitology-Quo Vadit /Proceeding of the Sixth International Congres of Parasitology. Australian Academy of Science. Canbera.

Gaspersz, N. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian. Torsito. Bandung.

Hansen, J and Brian Perry. 1990. The Epidemiology, Diagnosis and Control of Gastro-Intestinal Parasites of Ruminants In Africa. International Laboratory for Research on Animal Diseases, Nairobi. Kenya.

Hekmahsari, K. 2000. Pengaruh Metabolisme Mikroba Rumen secara In Vitro Terhadap Kandungan  Alkaloid dan Antrakuionon dari Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn). Skripsi. Jurusan Farmasi. Universitas Pancasila. Jakarta.

Jenkins, W. L. 1982. Ruminant Pharmacology. In. N. H. Booth N. L. E. Mc. Donald (ed. Veterinary Pharmacology and Therapeutic). 5th ed. Lowa State University Press. Ames.

Power., K. G., I. B. Wood, J. Eckert, T. Gibson and H. J. Smith.1982. World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology (W. A. A. V. P). Guidelines for Evaluation the Efficacy of Anthelmintic Ruminant (Bovine and Ovine). Veterinary Parasitology. 10: 265-284.

Priyanto, S. K. 1994. Efek Anthelmintik Simplisia Buah Pace (Morinda Citrifolia Linn) dan Daun Lidah Buaya (Aloe vera Linn) terhadap Cacing Ascaridia galli (Schrank, 1788) secara in Vitro. Skripsi. FKH-IPB.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan Indonesia. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Maziah, S. 2000. Pengaruh Metabolisme Rumen Terhadap Aktivitas Antelmintik Ekstrak Kloroform Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn) pada Cacing Haemonchus contortus secara in Vitro. Skripsi. Jurusan Farmasi. Universitas Pancasila. Jakarta.

Ronohardjo, P. dan A. J. Wilson.1986. Disease Problem of Small Ruminants in Indonesia. In C. Davendra (ed) Small Ruminants Production System in South and South East asia Proceeding of Workshop Held in Bogor, Indonesia:280-288.

Saeki, H. Ishii, M. Ohta, T. Sumio, T. Furuya and T. Fujii. 1995. Evaluation of Anthelmintic Efficacy of Doramectin Against Gastrointestinal Nematodes by Fecal Examination in Cattle in Japan. J. Veterinary Science. 57 (6): 1057-1061.

Satrija, F. 1998. Study on The Use of Carica papaya Linn Latex and Morinda citrifolia Linn Fruit Against Gastrointestinal Nematodes of Sheep. Final Report-Young Academic Program URGE Batch 1.

Smith, R. L. and Milburn. 1976. Enterohepatic Circulation and Drug Bioavaibility. In N. T. Karki (ed, Mechanism of Toxicity and Metabolism Proceeding of Sixth International Congress of Pharmacology). Pergamon Press. London.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University Press. 5th ed. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar