Kamis, 16 Juni 2011

Ascariasis

MASALAH ASCARIASIS PADA AYAM

Beriajaya1, Eny Martindah2, Imas Sri Nurhayati2
1Balai Besar Penelitian Veteriner
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan


ABSTRAK

Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang unggas dan disebabkan oleh Ascaridia galli. Cacing ini terdapat di usus dan duodenum hewan unggas. Pada ternak ayam sering menyerang baik tipe pedaging maupun tipe petelur, sedangkan pada ayam buras kemungkinan tertular lebih besar karena sistim pemeliharaan yang bebas berkeliaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi cacing A. galli diantaranya adalah umur, jenis ayam, dosis infeksi , tipe kandang, nutrisi, sistem pemeliharaan dan cuaca. Untuk melakukan pencegahan terhadap cacing ini maka harus diketahui faktor yang mempengaruhi infeksi tersebut. Unggas muda harus dipisahkan dari unggas dewasa dan tempat unggas berkeliaran harus mempunyai saluran air yang baik sehingga tidak terjadi penumpukan cairan di tanah dan tanah tidak menjadi lembab. Tempat unggas dilepas harus sering dirotasi. Secara periodik litter di tempat pakan dan minum harus sering dicampur dengan litter yang kering dari tempat lain. Infeksi yang berat dari cacing A. galli umumnya terjadi pada kandang litter yang dalam dan sangat lembab. Setiap akan memasukkan ayam baru dalam kandang litter, maka litter harus dibiarkan selama beberapa hari untuk penyuci hamaan dan pemanasan sehingga diharapkan litter menjadi kering dan telur yang mengandung larva infektif juga ikut mati. Secara berkala obat cacing dapat diberikan tergantung derajat infeksinya.

Kata kunci: Ascaridia galli, unggas, litter





PENDAHULUAN

Komoditas ternak unggas memegang peranan yang sangat penting dalam penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging unggas diperkirakan mencapai 1.164,40 ribu ton akan memberi kontribusi sebanyak 60,29 persen terhadap produksi daging secara nasional. Ayang pedaging merupakan produsen utama daging unggas yaitu mencapai 67,04 persen disusul berturut-turut ayam kampung, ayam petelur yang sudah diafkir dan itik sebesar 27,01; 4,04 dan 1,91 persen. Selain itu unggas juga memberi kontribusi yang sangat berguna dalam bentuk telur. Produksi telur pada tahun 2004 diperkirakan mencapai 666,40 ribu ton akan memberi kontribusi sebanyak 63,38 persen dari total produksi telur secara nasional yaitu mencapai 1051,40 ribu ton (DEPTAN, 2004).
Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang unggas dan disebabkan oleh cacing Ascaridia galli (Schrank, 1788) dengan sinonim A. lineata, A. perspicillum. Cacing ini terdapat di usus dan duodenum semua jenis unggas, guinea fowl, turkey, angsa dan beberapa jenis burung liar di semua bagian di dunia. Unggas ini  kemungkinan tertular cacing ascariasis lebih besar apabila unggas ini tidak dikandangkan. Selain itu iklim tropis dan kelembaban yang tinggi memberi kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur cacing dan ketahan hidup larva dan telur infektif di alam. Cacing ini merupakan cacing nematode yang ukurannya paling besar diantara jenis cacing pada unggas. Cacing jantan berukuran 50-76 mm, sedang yang betina 72-112 mm, mempunyai 3 bibir yang besar. Telurnya berbentuk oval, berukuran 73-92 µ sampai 45-57 µ (SOULSBY, 1982).

PREVALENSI
            Faktor yang menyebabkan unggas mudah tercemar infeksi cacing A. galli adalah unggas yang dibiarkan bebas berkeliaran. Beberapa data menunjukkan bahwa di daerah Zimbabwe, prevalen pada ayam yang  bebas berkeliaran adalah  48% pada yang muda dan 24% pada yang dewasa (PERMIN et al., 2002). Data yang hampir sama juga dilaporkan di Tanzania, prevalen pada yang muda adalah 69% dan pada yang dewasa 29% (MAGWISHA et al., 2002).  Selain itu pemeriksaan pasca mati pada 456 ayam kampung dari beberapa kota di Kenya  menunjukkan infeksi oleh cacing A. galli sebesar 10 % (IRUNGU et al., 2004). Data ini menunjukkan walau angka prevalennya lebih rendah tetapi tidak berarti ayam tersebut sehat karena ayam yang sama juga terinfeksi dengan beberapa jenis cacing yang lain. Data tahun 1994/1995 pada peternakan ayam di Denmark juga menunjukkan bahwa ayam dewasa terinfeksi cacing A. galli sebesar 63.8% (PERMIN et al., 1999).  Data ini menunjukkan bahwa resiko terbesar terhadap infeksi cacing terdapat pada peternakan ayam dengan sistim dilepas dipekarangan, tetapi resiko yang besar juga terdapat pada sistim kandang litter yang dalam. Kejadian akut ascaridiosis merupakan problema pada peternakan ayam yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar (GHOSH dan SINGH, 1994; AKOSO, 1993).

SIKLUS HIDUP
Telur dikeluarkan melalui tinja dan berkembang di dalam udara terbuka dan mencapai dewasa dalam waktu 10 hari atau bahkan lebih. Telur kemudian mengandung larva kedua yang sudah berkembang penuh dan larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang jelek. Telur tersebut dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi dapat mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam tanah yang kedalamannya sampai 15 cm yang kena sinar matahari.  Infeksi terjadi bila unggas menelan telur tersebut bersama makanan atau minuman. Cacing tanah dapat juga bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara menelan telur tersebut dan kemudian cacing tanah terbut dimakan oleh unggas.  Telur yang mengandung larva dua kemudian menetas di proventrikulus atau duodenum unggas.  Setelah menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama 8 hari. Kemudian larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4, masuk ke dalam mukosa dan menyebabkan hemoragi. Larva 4 akan mengalami ekdisis menjadi larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki lumen duodenum pada hari ke 17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu kurang lebih 28-30 hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat memasuki jaringan mukosa usus pada hari pertama dan menetap sampai hari ke 8-17  (RUFF dan NORTON, 1997). Pada ayam yang berumur kurang dari 3 bulan setelah larva memasuki duodenum kemudian mengalami perubahan (moulting) menjadi larva 3 dan larva 4 serta berkembang menjadi dewasa lebih kurang 5-6 minggu setelah telur tertelan ayam, sedangkan pada ayam yang berumur lebih dari 3 bulan periode tersebut sedikit lebih lama.


GEJALA KLINIS
            Gejala yang terutama dari infeksi cacing ini terlihat selama masa prepaten, ketika larva berada di dalam mukosa dan menyebabkan enteritis yang kataral, tetapi pada infeksi berat dapat terjadi hemoragi (URQUHART et al., 1987; SOULSBY, 1982). Unggas akan menjadi anaemia, diare, lesu, kurus, kelemahan secara umum dan produksi telur menurun. Selain itu infeksi berat juga dapat menyebabkan kematian karena terjadi penyumbatan usus (URQUHART et al., 1987). Pada pemeriksaan pasca mati terlihat peradangan usus yang hemoragik dan larva yang panjangnya 7 mm ditemukan dalam mukosa usus. Selain itu kadang-kadang ditemukan parasit yang sudah berkapur dalam bagian albumin dari telur.

PATOGENESIS
            Unggas muda lebih peka terhadap infeksi dibanding unggas dewasa atau unggas yang pernah menderita infeksi cacing A. galli sebelumnya. Defisiensi beberapa vitamin seperti A dan B terutama vitamin B 12, beberapa mineral dan protein merupakan predisposisi terhadap infeksi yang berat. Pemberian mangan (Mn) yang berlebih akan meningkatkan bobot badan dan level Mn dalam darah tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas dan banyaknya cacing A. galli dalam usus ayam (GABRASHANSKA et al., 1999). Selain itu pemberian Cobalt (Co) yang berlebih dalam dosis yang kecil akan meningkatkan bobot badan dan menurunkan mortalitas terhadap ascariasis (GABRASHANSKA et al., 2002). Pemberian kombinasi antara Zn-Co-Mn akan menurunkan jumlah cacing sebesar 20.4% dibanding ayam yang terinfeksi cacing tanpa pemberian kombinasi tersebut (GABRASHANSKA et al., 2004a). Pemberian kombinasi tersebut juga akan mempengaruhi rasio kelamin cacing dimana cacing jantan menjadi lebih banyak, penurunan daya estabilishment larva cacing, peningkatan daya hidup ayam dan berat badan (GABRASHANSKA et al., 2004b). TEODOROVA dan GABRASHANSKA (2002) dalam penelitian membandingkan antara pemberian ketiga elemen Cu, Co dan Mn menyimpulkan bahwa terapi yang optimal berisi bentuk garam murni dari Cu (Cu2(OH)3 Cl) dan ikatan organik dari Mn (2Gly.MnCl2.2H2O) untuk memperbaiki defisiensi mineral dan perubahan patologi, serta mengurangi angka kematian dan meningkatkan berat badan.
Ayam yang berumur lebih dari 3 bulan lebih resisten terhadap infeksi dan ini kemungkinan dihubungkan dengan peningkatan yang sangat nyata dari sel-sel goblet di dalam mukosa saluran pencernaan (TIURA et al., 2000). Selain itu kemungkinan ada zat mucin dari duodenum yang menghambat perkembangan larva cacing. Ayam yang terinfeksi cacing A. galli kemungkinan juga menjadi vektor yang potensial untuk penyebaran Salmonella enterica pada ayam (CHADFIELD et al., 2001). Selain itu infeksi cacing A. galli juga mengganggu program vaksinasi terhadap Newcatle disease (ND). Unggas yang diberi vaksin ND dan dibiarkan terinfeksi cacing A. galli akan menyebabkan penurunan titer antibodi setelah ditantang dengan virus ND (HORNING et al., 2003). Oleh karena itu dalam program vaksinasi ND sebaiknya ayam dalam kondisi sehat dan tidak terinfeksi cacing.
Kebalikan efek terlihat antara Plasmodium gallinaceum dan A. galli pada ayam. Bila ayam sudah terinfeksi P. gallinaceum maka infeksi oleh cacing A. galli jadi berkurang dan menurun daya establishnya (JUHL dan PERMIN, 2002). Negatif interaksi juga terlihat antara Pasturella multocida dan A. galli. Ayam yang terinfeksi A. galli akan menjadi peka terinfeksi kolera unggas yang disebabkan oleh P. multocida (DAHL et al., 2002)

KEPEKAAN AYAM
Kepekaan ayam terhadap infeksi cacing ascaris sangat dipengaruhi oleh umur (SOULSBY, 1982), jenis ayam (PERMIN dan RANVIG, 2001; GAULY et al., 2001, 2002; SCHOU et al., 2003), dosis infeksi (IKEME, 1971a), tipe kandang (SOULSBY, 1982), nutrisi (IKEME, 1971c; SOULSBY, 1982; PERMIN et al., 1998), sistem pemeliharaan (PERMIN dan RANVIG, 2001) dan cuaca (KUMARI dan THAKUR, 1999). Ayam yang lebih mudah lebih rentan terhadap infeksi cacing A. galli dibandingkan ayam yang dewasa atau yang telah mendapat infeksi sebelumnya (SOULSBY, 1982; HE, 1990). Ayam yang berumur diatas 3 bulan dianggap lebih resisten terhadap infeksi dan hal ini berhubungan dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet di dalam mukusa usus (SOULSBY, 1982). Hal yang bertolak belakang menunjukkan bahwa umur ayam hanya sebagian kecil mempengaruhi terhadap resistensi terhadap A. galli karena ada juga ayam yang berumur muda tetapi mengandung sedikit cacing (IDI et al., 2004). Hal yang sama juga menunjukkan bahwa umur tampaknya tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap resistensi terhadap infeksi cacing A. galli pada ayam petelur (GAULY et al., 2005). HE (1990) menghubungkan pengaruh umur terhadap kekebalan alamiah dengan fenomena polimerisasi jaringan ikat sehingga jaringan ikat menjadi terlalu keras untuk dipenetrasi oleh larva cacing.
Penelitian untuk membandingkan resistensi terhadap infeksi A. galli dilakukan pada ayam Lohman Brown (LB) dan Danish Landrace (DL). Jumlah cacing dewasa dan telurnya lebih banyak terlihat pada DL dibandingkan pada ayam LB selama infeksi primer. Ini menunjukan bahwa breeding untukk mencari galur ayam yang resisten terhadap A. galli mungkin dapat dilakukan (PERMIN dan RANWIG, 2001). GAULY et al (2002) menyatakan bahwa rata-rata jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT) lebih tinggi pada ayam Lohman putih dibanding Lohman coklat dimana keduanya diinfeksi tunggal 250 telur infektif cacing A. galli.
Akumulasi infeksi cacing A. galli terjadi pada unggas yang dipelihara dalam kandang liter (sekam) yang tebal terutama karena terjadi peningkatan kelembaban (SOULSBY, 1982). Infeksi berat A. galli menyebabkan penurunan produksi telur pada kandang litter di breeder dan layer komersial.
Ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein 10% dan diinfeksi dengan 10, 100 dan 1000 telur A. galli per hari selam enam minggu tanpa diberi suplemen vitamin menunjukkan berat badan yang lebih rendah dibanding yang diberi suplemen vitamin (IKEME, 1971c). PERMIN (1997) membuktikan bahwa infeksi A. galli pada ayam yang dibei protein 14% menunjukkan berat badan yang lebih rendah dibanding denan kelompok yang diberi protein 18%.
Menurut KUMARI dan THAKUR (1999) ada korelasi positif antara populasi cacing A. galli pada ayam dengan suhu, curah hujan dan kelembaban. Umumnya jumlah cacing lebih banyak pada musim hujan karena telur dapat berkembang pada lingkungan yang lembab.

PENGARUH TERHADAP PENCERNAAN
            Infeksi parasit menyebabkan perubahan patologi pada saluran pencernaan berupa proliferasi jaringan, peradangan akut atau kronis (CASTRO, 1990). Kerusakan epitel menyebabkan munculnya sel-sel yang masih muda yang belum dapat berfungsi untuk menyerap makanan. Penyumbatan lumen usus dapat terjadi apabila banyak cacing berakumulasi dalam jumlah yang besar. Akibat dari penyumbatan  menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan menghalangi aliran makanan. Bila terjadi berminggu-minggu akan menimbulkan kematian.
            Pengamatan histopatologi pada epitel usus terlihat kerusakan pada villi dan atrofi. Pada permukaan mukosa usus  terjadi nekrosa dan membran mukosa kehilangan kemapuan menyerap makanan (IKEME, 1971b). Pada infeksi berat terjadi enteritis dan hemoragi sehingga ayam menjadi anaemia dan diare. Ayam terlihat kurang bugar, kurus dan lemah serta produksi telur menurun (SOULSBY, 1982). Infeksi cacing juga menyebabkan gangguan sekresi hormon dan enzim yang berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan. Selain itu adanya peradangan menyebabkan pelepasan zat-zat seperti histamin, serotonin, prostaglandin, leukotrien, peptida dan lain-lain yang dapat merangsang peningkatan motilitas otot-otot polos. Peningkatan motilitas otot saluran pencernaan menyebabkan gejala muntah dan diare.
            Gangguan penyerapan di usus terjadi karena kerusakan jaringan, pemanfaatan zat-zat hara oleh cacing dan anoreksia. Cacing dalam jumlah besar akan menyebabkan penurunan berat badan.

ANTELMINTIKA
            Antelmintika adalah obat untuk membunuh cacing atau mengurangi jumlah cacing dalam tubuh. Berdasarkan  cara kerjanya maka antelmintik dibagi dalam 5 kelompok (PERMIN dan HANSEN, 1998);
  1. Benzimidazole dan pro-benzimidazoles. Antelmintik ini bekerja menghambat fungsi mikrotubuli sehingga fungsi seluler cacing rusak dan mati. Antelmintik kelompok ini adalah albendazole, thiabendazole, fenbendazole, parbendazole, flubendazole, febantel dan thiophanat.
  2. Neuromuscular acting compounds. Antelmintik ini bekerja pada reseptor asetinkolin d dalam sistim syaraf cacing menyebabkan depolarisasi yang persisten pda sel otot dan sebagai akibatnya terjadi kelumpuhan pada cacing sehingga mudah dikeluarkan dari usus oleh gerakan peristaltik. Antelmintik kelompok ini adalah levamisol, pirantel dan morantel.
  3. GABA acting compounds. Antelmintik ini bekerja pada sistim syaraf yang menyebabkan syaraf presinap dirangsang untuk melepas Gama Amino Butyric Acid (GABA).  Sebagai akibatnya cacing menjadi lumpuk dan lemah sehingga dapat dikeluarkan dari usus oleh peristaltik. Antelmintik kelompok ini adalah piperazin, avermectin (ivermectin, doramectin, moxidectin). Avermectin mempunyai fungsi untuk membunuh endoparasit dan ektoparasit.
  4. Salisilanid dan senyawa nitrofenol. Antelmintik ini setelah diserap mudah melekat pada protein plasma sehingga dapat digunakan untuk membunuh cacing penghisap darah. Antelmintik kelompok ini adalah klosantel, niklosamid, disofenol, bromsalan.
  5. Inhibitor asetil kolin esterase. Antelmintik ini mengandung organofosfat seperti diklorvos dan neguvon. Antelmintik dalam kelompok 4 dan 5 sangat terbatas penggunaannya karena mempunyai spektrum yang sempit.

Beberapa jenis antelmintika yang sering dipakai diantaranya:
  1. Piperazine. Antelmintik ini sangat efektif untuk memberantas cacing A. galli. Antelmintik ini dapat diberikan dalam pakan atau minum. Dosis pemberian 300-440 mg per kg pakan atau 440 mg piperazin sitrat per liter. Obat ini tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan atau produksi telurnya.
  2. Hygromycin B pada dosis 8 g per ton selama 8 minggu sangat efektif memberantas cacing A. galli.
3.                  Albendazol dengan dosis 3,75 mg/kg berat badan efektif untuk memberantas cacing A. galli.
  1. Fenbendazol. Untuk kondisi lapang maka dosis 15-20 mg/kg BB selama 3 hari berturut-turut dapat digunakan memberantas infeksi cacing pada ayam atau 30-60 ppm dalam pakan selama 6 hari berturut-turut, tetapi Yazwinski et al.(2002) menunjukkan bahwa dengan dosis yang lebih rendah yaitu 16 ppm dalam pakan selama 6 hari berturut-turut dapat memberantas cacing ascaris pada turkey.
  2. Levamisol 37,5 mg/kg dalam air minum atau makanan. Satu kaplet untuk 10 ekor ayam yang beratnya 1 kg dilarutkan dalam air 2 liter minum atau dihancurkan dalam makanan 1 kg.

PENCEGAHAN

            Ketika unggas ditaruh diluar kandang, unggas muda harus dipisahkan dari unggas dewasa dan tempat unggas berkeliaran harus mempunyai saluran iar yang baik sehingga tidak terjadi penumpukan cairan di tanah dan tanah tidak menjadi lembab. Rotasi tempat unggas dilepas harus sering dilakukan.
            Ayam yang dipelihara dalam kandang litter dan harus cukup ventilasi. Secara periodik litter di tempat pakan dan minum harus sering dicampur dengan litter yang kering dari tempat lain. Infeksi yang berat dari cacing A. galli umumnya terjadi pada kandang litter yang dalam dan sangat lembab.
            Setiap akan memasukkan ayam baru dalam partai besar dalam kandang litter, maka litter harus dibiarkan selama beberapa hari untuk penyuci hamaan dan pemanasan sehingga diharapkan litter menjadi kering dan telur yang mengandung larva infektif juga ikut mati.

PENUTUP

            Ascariasis pada unggas merupakan masalah yang mengganggu produktivitas daging dan telur pada unggas. Penanggulangan hanya dapat dilakukan dengan menerapkan metoda pencegahan yang ketat sehingga pengobatan dengan obat cacing tidak harus dilakukan secara terus menerus karena dikuatirkan akan terjadi resistensi antelmintik. Faktor-faktor yang menimbulkan penyakit perlu dihindari agar ternak unggas kemungkinan kecil tertular cacing A. galli.

PUSTAKA

AKOSO, B.T. 1993. Manual kesehatan unggas bagi petugas teknis penyuluh dan peternak. Kanisius. Yogyakarta.

CASTRO, G.A. 1990. Intestinal pathology. Di dalam: Parasites: Immunity and Pathology. The consequences of parasitic infection in mammals. Ed. BEHNKE J.M. Philadelphia. Taylor and Francis.

CHADFIELD, M., A. PERMIN, P. NANSEN and M. BISGAARD. 2001. Investigation of the parasitic nematode Ascaridia galli (Shrank 1788) as a potential vector for Salmonella Enterica dissemination in poultry. Parasitol. Res. 87: 317-325.

DEPTAN. 2004. Buku saku peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.

DAHL, C., A. PERMIN, J.P. CHRISTENSEN, M. BISGAARD, A.P. MUHAIRWA, K.M. PETERSEN, J.S. POULSEN and A.L. JENSEN. 2002. The effect of concurrent infections with Pasteurella multocida and Ascaridia galli on free range chickens. Vet. Microbiol. 86(4):313-324.

GABRASHANSKA, M., S. TEPAVITCHAROVA, C. BALAREW, M.M. GALVEZ-MORROS and P. ARAMBARRI. 1999. The effect of excess dietary manganese on uninfected and Ascaridia galli infected chicks. J. Helminthol. 73(4):313-316.

GABRASHANSKA, M., S.E. TEODOROVA and M. MITOV. 2002. The effect of cobalt compounds on uninfected and Ascaridia galli-infected chickens: a kinetic model for Ascaridia galli populations and chicken growth. J. Helminthol. 76(4): 303-310.
GABRASHANSKA,  M., S.E. TEODOROVA, M..M. GALVEZ-MORROS, N.  TSOCHEVA-GAYTANDZHIEVA and M. MITOV. 2004a. Administration of Zn-Co-Mn basic salt to chickens with ascaridiosis. I. A mathematical model for Ascaridia galli populations and host growth with and without treatment.  Parasitol. Res. 93(3): 235-41.

GABRASHANSKA,  M., S.E. TEODOROVA, M..M. GALVEZ-MORROS, N.  TSOCHEVA-GAYTANDZHIEVA, M. MITOV,  S. ERMIDOU-POLLET and S. POLLET. 2004b. Administration of Zn-Co-Mn basic salt to chickens with ascaridiosis. II. Sex ratio and microelement levels in Ascaridia galli and in treated and untreated chickens. Parasitol. Res. 93(3): 242-247.

GAULY, M., C. BAUER, C. MERTENS and G. ERHARDT. 2001. Effect and repeatability of Ascaridia galli egg output in cockerels following a single low dose infection. Vet. Parasitol. 96(4): 301-307.

GAULY, M., C. BAUER, R. PREISINGER and G. ERHARDT. 2002. Genetic differences of Ascaridia galli egg output in laying hens following a single dose infection. Vet. Parasitol. 103: 99-107.

GAULY M., T. HOMANN and G. ERHADT. 2005. Age-related differences of Ascaridia galli egg output and worm burden in chickens following a single dose infection. Vet. Parasitol. 128(1-2):141-148.

GHOSH, J.D. and J. SINGH. 1994. Acute Ascaridiosis in chickens. A report. Indian Vet. J. 71: 717-719.

HE, S. 1990. Imunologi Parasit. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

HORNING G., S. RASMUSSENN, A. PERMIN and M. BISGAARD. 2003. Investigation on the influence of helminth parasites on vaccination of chickens against Newcastle disease virus under village conditions. Trop. Anim. Hlth. Prod. 35: 415-424.

IDI A., A. PERMIN and K.D. MURRELL. 2004. Host age only partially affects resistance to primary and secondary infections with Ascaridia galli (Schrank, 1788) in chickens. Vet. Parasitol. 122(3): 221-231.

IKEME, M.M. 1971a. Effect of different levels of nutrition and continuing dosing of poultry with Ascaridia galli eggs on the subsequent development of parasite population. Parasitol. 63: 233-250.

IKEME, M.M. 1971b. Observation  on the pathogenicity and pathology of Ascaridia galli. Parasitol. 63: 169-179.

IKEME, M.M. 1971c. Weight changes in chickens placed on different levels of nutrition and varying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs. Parasitol. 63: 251-260.

IRUNGU, L.W., R.N. KIMANI and S.M. KISIA. 2004. Helminth parasites in the intestinal tract of indigenous poultry in parts of Kenya. J. S. Afr. Vet. Assoc. 75(1): 58-59.

JUHL, J. and A. PERMIN. 2002. The effect of Plasmodium gallinaceum on a challenge infection with Ascaridia galli in chickens. Vet Parasitol. 105(1): 11-19.

KUMARI, R. and S. THAKUR. 1999. Infection pattern of nematode Ascaridia galli in Gallus gallus domesticus. J. Ecobiol. 11: 277-283.

MAGWISHA, H.B., A.A. KASSUKU, N.C. KYVSGAARD and A. PERMIN. 2002. A comparison of the prevalence and burdens of helminth infections in growers and adult free-range chickens.  Trop. Anim. Hlth. Prod. 34(3): 205-214.

PERMIN A. 1997. Helminths and helminthosis in poultry with special emphasis on Ascaridia galli in chickens. PhD thesis. Denmark: The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen.

PERMIN A. and J.W. HANSEN. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. FAO Animal Health Manual No.4. Rome.

PERMIN A., P. NANSEN, M. BISGAARD and F. FRANDSEN. 1998. Ascaridia galli infection in the free range layers fed on diets with different protein content. Br. Poult. Sci. 39: 441-445.

PERMIN, A. and H. RANVIG. 2001. Genetic resistance to Ascaridia galli infections in chickens. Vet. Parasitol. 102: 101-111.

PERMIN, A., M. BISGAARD, F. FRANDSEN, M. PEARMAN, J. KOLD and P. NANSEN. 1999. Prevalence of gastrointestinal helminths in different poultry production systems. Br. Poult. Sci. 40(4): 439-443.

PERMIN, A., J.B. ESMANN, C.H. HOJ, T. HOVE and S. MUKARATIRWA. 2002. Ecto-, endo- and  haemoparasites in free-range chickens in the Goromonzi District in Zimbabwe. Prev.Vet. Med. 54(3): 213-224.

RUFF, M.D. and R.A. NORTON. 1997. Nematodes. Di dalam: Diseases of poultry. Ed. CALNECK, W.B. H.J. BARNES, C.W. BEARD McDOUGALD, Y.M. SAIF. 10th Ed. Iowa: Iowa State University Press.

SCHOU, T., A. PERMIN, A. ROEPSTORFF, P. SORENSEN and J. KJAER. 2003. Comparative genetic resistance to Ascaridia galli infections of 4 different commercial layer-lines. Br. Poult. Sci. 44(2): 182-185.

SOULSBY, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods and protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed. Bailliere, Tindall, London.

TEODOROVA, S.E. and M. GABRASHANSKA. 2002. Optimal treatment of Ascaridia galli-infected chickens with salts of trace elements and a kinetic model for chicken growth. J. Helminthol. 76(1): 79-85.

TIURIA S., F. ATHAILLAH, B.P. PRIOSOERYANTO, F. SATRIJA, E.B. RETNANI dan Y. RIDWAN. 2000. Pengaruh infeksi cacing Ascaridia galli terhadap respon sel goblet dan sel mast pada usus halus ayam petelur. Majalah Parasitologi Indonesia 13: 40-48.

URQUHART, G.M., J. ARMOUR, J.L. DUNCAN, A.M. DUNN and F.W. JENNING. 1987. Veterinary Parasitology. Second Ed. England: Longman Scientific and Technical.

YAZWINSKI T.A., C. TUCKER, A. STELZLENI, Z. JOHNSON, J. ROBINS, K. DOWNUM, M. FINCHER, J.  MATLOCK and H.D. CHAPMAN. 2002.  Subclinical effects and fenbendazole treatment of turkey ascaridiasis under simulated field conditions. Avian Dis. 46(4): 886-892.




Rabu, 15 Juni 2011

Kajian Importasi CLQ

KAJIAN TENTANG  IMPOR PAHA AYAM  TERHADAP
INDUSTRI PERUNGGASAN INDONESIA

Imas Sri Nurhayati dan Eny Martindah
Puslitbang Peternakan

Abstrak
            Indonesia merupakan pasar potensial untuk unggas dan produknya sehingga Amerika Serikat berusaha menembus pasar daging ayam terutama untuk paha ayam (CLQ). Pengalaman tahun 1998-2002 telah memberikan pelajaran berharga, dimana saat itu telah masuk impor paha ayam, dengan mengandalkan aturan perdagangan bebas, meskipun menurut data statistik dari tahun 1998-2004 Indonesia tidak pernah mengimpor daging ayam dari negara mana pun. Produk tersebut dijual di pasar swalayan dan pasar tradisional dengan harga sangat murah. Isu impor paha ayam dari AS kembali merebak pada awal tahun 2005, ancaman serius bagi bisnis perunggasan Indonesia yang belum pulih akibat krisis ekonomi dan wabah Avian Influenza (flu burung).

Kata kunci: usaha perunggasan, impor, CLQ

Pendahuluan
Populasi penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta jiwa dengan tingkat pertambahan penduduk mencapai 1,6% per tahun. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar, Indonesia merupakan pasar potensial untuk unggas dan produknya. Beberapa pakar menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia yang saat ini masih di bawah 7kg/kapita/tahun berpotensi meningkat seiring dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan akan gizi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, diperlukan kecukupan daging untuk memenuhi kebutuhan protein bagi penduduk Indonesia. Situasi dan kondisi demikian membuat Amerika Serikat berusaha menembus pasar daging ayam Indonesia terutama untuk paha ayam (Chicken Leg Quarter-CLQ) sejak 5 tahun yang lalu (TROBOS, September 2005). Seperti telah diketahui bahwa CLQ di negeri asalnya tidak laku dijual dan dianggap limbah, karena konsumen di Amerika umumnya memakan bagian dada dan sangat jarang yang mengkonsumsi bagian paha.
Impor hasil ternak, khususnya daging (termasuk daging ayam) sebetulnya telah lama berlangsung dan praktis tidak dipermasalahkan. Namun kasus atau rencana impor paha ayam (CLQ) menjadi persoalan yang serius (HADIYANTO, 2002). Bagi masyarakat awam hal ini mungkin dianggap tidak begitu serius selama daging ayam yang dibutuhkan masih terpenuhi dengan harga terjangkau. Akan tetapi bagi pemerintah dan masyarakat yang terlibat langsung dengan bisnis perunggasan, gejala membanjirnya paha ayam dari AS merupakan ancaman yang serius. Masyarakat perunggasan khawatir impor CLQ akan memberikan dampak buruk bagi bisnis perunggasan Indonesia.
Pada tahun 1998 banyak peternak yang terpaksa menutup usahanya akibat krisis ekonomi. Pemerintah saat itu mengijinkan masuknya daging ayam impor baik utuh maupun potongan berupa paha dan sayap ayam. Daging impor ini dijual bebas, selain di pasar swalayan juga di pasar-pasar tradisional. Ternyata masyarakat menyambut dengan antusias karena harganya yang relatif murah dibandingkan produk lokal. Jika kita cermati, masuknya CLQ pada tahun 1998-2000 merupakan langkah darurat. Hal ini dipicu oleh kebutuhan dalam negeri yang sangat besar, harga di pasar internasional yang rendah, produksi dalam negeri tidak mencukupi serta adanya bantuan kredit impor dari negara produsen (YUDOHUSODO dalam KOMPAS, 26 Mei 2003). Sebagai gambaran, CLQ dari AS termasuk residual good  (bahan-bahan yang harganya sangat murah karena di negara produsennya tidak laku dijual), harga CLQ impor sekitar 0,22 US$/kg, dan pada era perdagangan bebas produk tersebut mempunyai peluang yang sangat mudah masuk ke Indonesia.

Kasus di Lapangan
            Isu impor paha ayam telah dibantah oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono seperti yang dilansir beberapa media (KOMPAS, MEDIA INDONESIA, REPUBLIKA, 9 Oktober 2005). Menurut Menteri Pertanian yang menjadi pertimbangan Departemen Pertanian untuk menolak masuknya CLQ dari Amerika Serikat dan Eropa adalah selain alasan jumlah produksi daging ayam domestik yang mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga aspek ketidakhalalan. Meskipun demikian, sampai saat ini masih ada pihak-pihak tertentu yang sangat menginginkan impor produk unggas termasuk CLQ. Argumen yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang menginginkan pemasukan CLQ adalah “impor ditujukan bagi kepentingan masyarakat konsumen, agar diperoleh protein hewani dengan harga murah” (TROBOS, Februari 2006). Sebagai komoditas strategis, tidak salah jika banyak pihak yang berminat untuk mendatangkan produk unggas dari luar. Beberapa produk unggas yang menjadi isu hangat beberapa waktu terakhir diantaranya chicken wing (sayap ayam), MDM (Mechanical Deboned Meat) dan CLQ (paha ayam). Harga paha ayam di AS hanya 15-45% dari harga dada ayam, sehingga bagian dada mensubsidi bagian paha ayam, sedangkan di Indonesia hamper tidak ada perbedaan antara harga bagian paha dan dada. Harga paha ayam ex AS hanya 40-45% harga paha ayam Indonesia bahkan ada yang menawarkan 15-20%, ini merupakan selisih yang sangat menguntungkan dan tentu saja akan menekan produk lokal (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006).
Dari lapangan diperoleh informasi bahwa 40-60 kontainer paha ayam telah masuk pelabuhan I Koja di Tanjung Priok tanggal 22 Maret  2005 (TROBOS, April 2006). Sementara itu di Sidoarjo ditemukan paha ayam eks AS yang seharusnya ditujukan ke Rusia tidak memiliki sertifikat halal serta adanya pengakuan dari produsen yang tidak pernah mengajukan sertifikasi halal. Kasus lain, chicken wings telah beredar di Ujung Pandang bulan Oktober 2005 dengan harga jual Rp 6.000/kg, produk tersebut diduga berasal dari luar negeri yang masuk secara illegal (TROBOS, Nopember 2005). Potongan sayap ayam tersebut berukuran sedang dan besar, ini mengindikasikan bahwa bagian sayap tersebut berasal dari ayam besar yang jarang diproduksi di Ujung Pandang atau daerah Indonesia lainnya.

Pro & Kontra terhadap Impor  Paha Ayam dan Produk Lainnya.
Isu impor produk unggas dari luar negeri terutama CLQ (paha ayam) telah menimbulkan berbagai opini publik. Di satu sisi, masalah kehalalan daging ayam impor ini bisa menjadi hal sensitif bagi konsumen yang akan menimbulkan friksi yang kontra produktif. Di sisi lain bisa jadi konsumen punya anggapan bahwa daging ayam dari luar negeri lebih bagus. Anggapan ini timbul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap produksi ayam nasional terkait dengan isu flu burung.
Masyarakat yang sadar memandang paha ayam sebagai bahan yang berpotensi menimbulkan resiko, karena paha ayam biasanya menjadi lokasi penyuntikan antibiotik,  sehingga residu antibiotik mengumpul di bagian ini. Dalam beberapa tahun, residu yang terkandung pada paha ayam dapat memicu munculnya kanker tertentu karena bersifat karsinogenik. Ayam di AS dipanen sekitar umur 6 minggu sehingga disinyalir oleh para ahli gizi, produk ayam AS lebih banyak mengandung lemak dan kolesterol (KESEHATAN, 2005). Selain tidak memenuhi aspek aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), impor paha ayam juga akan menghancurkan peternak ayam dan industri peternakan ayam dalam negeri yang belum pulih akibat flu burung dan krisis lainnya.
Pernyataan Utoyo seperti dikutip TROBOS (September, 2005) menekankan bahwa akibat flu burung peternak ayam telah mengalami kerugian cukup besar Data dari Pusat Informasi Pasar (PINSAR) Unggas Nasional awal Agustus 2005 menunjukan bahwa akibat flu burung ± 50% permintaan daging ayam anjlok. Data ini jelas menggambarkan betapa besar kerugian yang diderita peternak. Jika CLQ dari USA masuk ke pasar dalam negeri sudah dipastikan perunggasan Indonesia akan lebih terpuruk dan semakin tertekan. Himbauan Forum Peternakan Indonesia (FPI) agar DPR dapat memperjuangkan aspirasi peternak dan agar pemerintah melindungi kepentingan peternak tentunya sangat beralasan.
Keresahan para pelaku usaha perunggasan semakin besar ketika paha ayam asal AS masuk ke Nangroe Aceh Darussalam (TROBOS, Maret 2005). Walaupun masuknya barang tersebut merupakan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Aceh berkaitan dengan musibah gempa bumi dan gelombang tsunami serta melalui jalur resmi.  Bagi pemerintah dan masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha perunggasan, hal ini  merupakan ancaman yang serius, karena akan memberikan dampak buruk bagi bisnis perunggasan Indonesia yang baru saja memasuki tahap recovery akibat krisis moneter dan kasus Avian Influenza.
Bila paha ayam masuk diduga akan mengganggu tatanan usaha perunggasan, sebagaimana pengalaman pada periode tahun 1998-2002, dimana produk tersebut dijual dengan harga sangat murah dengan mengandalkan aturan perdagangan bebas tanpa mengindahkan sistem perdagangan secara adil. Masyarakat perunggasan telah mengeluarkan energi yang sangat besar dalam menghadapi serangan paha ayam dari AS pada tahun 1998-2002 baik dalam upaya lobi maupun dalam upaya menentramkan keresahan peternak unggas. Bila impor paha ayam benar terjadi, yang pertama kali akan bangkrut adalah peternak komersial kemudian breeding farm, industri pakan dan pelaku usaha lainnya (TROBOS, Maret 2005).
Jika dicermati, sebenarnya sampai dengan tahun 2004, Indonesia tidak melakukan impor daging ayam (Tabel 1), sehingga jika di pasaran ditemui daging impor hal tersebut menunjukan adanya pemasukan daging ayam secara ilegal. Masuknya produk impor tersebut diduga akibat merebaknya kasus Avian Influenza (flu burung) yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk unggas nasional.  
Tabel 1. Perkembangan volume ekspor dan impor produk unggas tahun 1998-2004

No.
Jenis Komoditi
Tahun
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
1.
Ekspor








a. Daging Ayam (ton)
3.006,5
2.859,3
703,8
1.740,2
2.346,3
2.760,7
100,9

b.Telur konsumsi (ton)
0,0
0,0
77,7
449,5
948,8
482,6
107,9

c. DOC ayam bibit (000 ekor)
270,1
1.192,4
814,5
740,1
255,8
52,9
0,0

d.DOC ayam bibit (FS) (000 ekor)
-
-
255,6
63,3
370,1
452,5
1,0

e. Telur Tetas (ton)
0,0
722,7
140,4
18,5
74,0
302,2
19,8

f. Bulu bebek (ton)
26,7
331,2
274,4
276,5
410,7
231,5
269,4
2.
Impor








a.   Telur konsumsi (000 butir)
3.809,9
4.274,8
6.062,2
6.419,9
7.514,2
7.198,0
11.032,8

b.   Telur tetas (000 butir)
68,5
26.638,2
8.079,5
581,1
266,0
113,1
40,4

c.   Bulu bebek (ton)
-
-
538,3
490,0
705,9
1.238,6
864,5

Sumber : Ditjen Peternakan (Statistik Peternakan 2005)

            Dalam hal MDM (Mechanichal Deboned Meat), pihak asosiai pengusaha pengolah produk peternakan – NAMPA (National Meat Processing Association) tetap menghendaki impor. Alasannya, pihak NAMPA sangat kesulitan dalam pengadaan bahan baku termasuk daging ayam; selain pasokan terbatas harganya juga lebih mahal. Yusdja (2006) berpendapat bahwa impor CLQ dapat diterima tetapi dalam bentuk bahan baku olahan, misalnya tepung makanan ternak. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi budidaya unggas dan konsumsi hasil unggas. Menurut ketua NAMPA, impor MDM tidak akan mengganggu peternak kecil. Komoditas ini tidak dapat masuk ke pasar karena tidak dapat dimanfaatkan kecuali oleh perusahaan anggota NAMPA. Sementara itu para  produsen MDM domestik menyatakan pihaknya mampu memenuhi kebutuhan NAMPA. Meskipun demikian, NAMPA  tetap keberatan dengan pernyataan tersebut, karena belum adanya kesepakatan harga, diduga harga MDM lokal jauh lebih mahal dari MDM impor. Akan tetapi jika MDM bisa diimpor, akan menimbulkan peluang CLQ bisa diimpor karena bisa digunakan sebagai bahan baku MDM. Alasan ini yang menjadi keberatan bagi pihak FMPI, karena jika ini terjadi maka industri perunggasan akan hancur.
            Menanggapi hal ini, menteri Perindustrian dalam jumpa pers menegaskan bahwa dalam sebuah industri pemenuhan bahan baku diprioritaskan dengan memberdayakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, Yusdja (2006) mengusulkan adanya kriteria larangan impor (KLI). Dengan KLI barang yang akan diimpor tidak akan menjadi persoalan karena selama barang tersebut memenuhi kriteria larangan impor, maka barang tersebut harus ditolak. Untuk itu perlu dibangun KLI yang komprehensif sehingga KLI bisa menjadi acuan bagi siapa pun yang ingin mengimpor barang-barang yang terkait dengan produk peternakan.

Kebijakan Penanganan Impor Paha Ayam
Isu impor paha ayam sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000. Isu tersebut tenggelam seiring dengan kasus berita Avian Influenza di dunia dan keberhasilan pemerintah  bernegosiasi dengan para eksportir bahan pakan asal Amerika (Menteri Pertanian saat itu Dr. Bungaran Saragih). Seperti diketahui industri peternakan Indonesia mengimpor kedelai dan jagung dari Amerika, sehingga hal ini  dijadikan “senjata” untuk mencegah impor CLQ (POULTRY INDONESIA, Mei 2006). Alasan kehalalan merupakan alasan yang solid namun labil karena mudah dipenuhi sehingga perlu ada kontinuitas dan konsistensi argumen yang akan disampaikan kepada WTO bahwa impor paha ayam dapat merusak perunggasan domestik (MULJANI, H. dalam POULTRY INDONESIA, Mei 2006).
Berkaitan dengan isu impor paha ayam yang merebak kembali, Departemen Perdagangan dan instansi terkait hendaknya tetap waspada. Untuk itu dibutuhkan konsistensi dan komitmen yang kuat sebagai landasan pemerintah untuk pembatasan impor.  Ketergantungan terhadap produk impor akan menyebabkan terjadinya pengurasan devisa negara dan upaya mencapai kemandirian pangan akan semakin sulit. Oleh karena itu Indonesia perlu berupaya maksimal untuk mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri.
            Masalah impor daging sudah diatur oleh undang-undang dan apabila dijumpai daging yang tidak sesuai persyaratan dari manapun asal negaranya tetap harus ditolak (SUDARDJAT dalam POULTRY INDONESIA, Mei 2006). Peraturan yang dijadikan acuan Departemen Pertanian dalam menangani masalah impor paha ayam yaitu Surat Edaran Dirjen Peternakan tanggal 25 September 2000 tentang ketentuan impor daging ayam hanya diperbolehkan dalam bentuk karkas utuh. Impor daging ayam dalam bentuk karkas utuh harus dilakukan melalui overall review, khususnya berkaitan dengan pemenuhan persyaratan keamanan pangan dan kehalalan (Surat Menteri Pertanian No. 06/TN.420/A/IV/2002 tanggal 5 April 2002). Pelaksanaan overall review dilakukan dengan prinsip dasar bahwa produk berasal dari negara yang disetujui oleh pemerintah c.q Dirjen Peternakan, berasal dari unit usaha yang melakukan pemotongan halal,  penyembelihan dilakukan secara manual, dilakukan dibawah pengawasan Islamic Body yang telah diakreditasi MUI serta di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di negara asal. Departemen Perindustrian dan Perdagangan berpedoman pada SK No. 230/MPP/Kep/7/1997 tentang kebijakan impor dan ekspor tidak mengatur, mengawasi, melarang perdagangan paha ayam secara khusus.
Kekhawatiran masyarakat dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan antara Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sehingga pemerintah terkesan tidak konsisten dalam menerapkan aturan. Akibatnya masyarakat menjadi bingung dan khawatir secara berkepanjangan. Di lain pihak AS secara langsung atau tidak langsung selalu melakukan kegiatan mengarah ke pemasukan paha ayam ke Indonesia. Dalam merespon masuknya beberapa kontainer paha ayam di pelabuhan Tanjung Priok, Badan Karantina telah menyampaikan surat kepada Dirjen Bea dan Cukai untuk memusnahkan paha ayam yang masuk dari Amerika Serikat tersebut.
Pada tanggal 23 Desember 2004 Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan Nomor 600/PML.010/2004 tentang penetapan bea masuk (BM) impor paha ayam sebesar 25%. Peraturan ini telah membuat resah masyarakat perunggasan karena dengan BM hanya 25% CLQ akan dengan mudah membanjiri pasar domestik (TROBOS, Mei 2005). Hal ini beralasan karena usaha perunggasan Indonesia khususnya ayam ras belum mampu bersaing dengan produk impor yang bernuansa ’dumping’ atau ’barang limbah’, sehingga bila  Bea  Masuk (BM)  paha ayam hanya 25% akan  dimanfaatkan oleh importir dan dapat dipastikan peternak ayam ras Indonesia akan kembali terpuruk. Disisi lain industri dalam negeri masih dihadapkan dengan biaya produksi yang masih tinggi atau belum efisien karena sebagian besar komponen bahan baku pakan dan bibit masih tergantung impor. Selain itu, beberapa komponen bahan baku pakan juga dikenai PPN, sementara budidaya unggas di negara maju seperti AS sudah efisien dan didukung oleh teknologi modern, serta mendapat ’subsidi atau prestasi’ terselubung dari pemerintahnya. Pelaku usaha perunggasan pernah mengusulkan melalui berbagai asosiasi dan HKTI, agar BM paha ayam dinaikan hingga 80-120%. Pembebanan Bea Masuk 150% akan menjadikan komoditas dari AS tersebut layak bersaing dengan komoditas lokal dari segi harga. Simulasi pengenaan tarif bea masuk paha ayam dapat dilihat pada Tabel 2.


Tabel 2. Simulasi Pengenaan Tarif Bea Masuk Paha Ayam

No.
Uraian

Satuan
5%
25%
40%
80%
120%
1.
Harga paha ayam

US$/Ton
630
630
630
630
630
2.
Bea masuk

US$/Ton
32
158
252
504
756
3.
Jumlah PPN, PPh, Cost of Money (17%)
17%
US$/Ton
107
107
107
107
107
4.
Harga paha ayam di palabuhan

US$/Ton
769
895
989
1.241
1.493
5.
Keuntungan importer (5%)
5%
US$/Ton
38
45
49
62
75
6.
Harga paha ayam

US$/Ton
807
939
1.039
1.303
1.568
7.
Kurs

Rp/US$
9.300
9.300
9.300
9.300
9.300
8.
Harga paha ayam di importer

Rp/Kg
7.505
8.736
9.659
12.119
14.580
9.
Bila keuntungan grosir 10%
10%
Rp/Kg
751
874
966
1.212
1.458
10.
Maka harga paha impor di grosir

Rp/Kg
8.256
9.609
10.624
13.331
16.038
11.
Bila keuntungan pengecer 10%
10%
Rp/Kg
826
961
1.062
1.333
1.604
12.
Harga eceran paha aym impor

Rp/Kg
9.082
10.570
11.687
14.664
17.642

Catatan: Harga eceran daging ayam dalam negeri Rp 12.000-Rp 13.000/Kg
Sumber: Ditjen BP2HP, 2005 dalam TROBOS, Maret 2005

Hal lain yang harus menjadi pertimbangan terkait dengan impor produk unggas adalah fakta bahwa industri lokal dan berbagai kegiatannya telah terbukti mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja yang menghidupi sekitar 10 juta orang keluarganya. Investasi bidang perunggasan 2005 tercatat Rp 38,5 trilyun, dengan omset bisnis mencapai Rp 41,5 trilyun (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006). Diprediksikan lima tahun mendatang, investasi dan omsetnya akan mencapai 1,5 kali lebih besar dari saat ini. Hal inilah yang semestinya menjadi landasan pengambilan kebijakan perlu tidaknya kebijakan impor produk  unggas.
Selain itu investor dalam negeri seharusnya didukung oleh kebijakan yang kondusif, serta dilindungi secara sektoral sampai di daerah meliputi teknologi, manajemen, pengolahan dan industri agar lebih tangguh dan efsien dari agroindustri di hulu (up stream), produksi bahan baku di peternak (on farm) hingga pengolahan di hilir (down stream) (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006).
Indonesia harus mampu mengelola dan melindungi peternak unggas nasional dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia luar (Yudohusodo, 2005). Untuk itu diperlukan strategi yang tepat dalam menghadapi perdagangan global dan sekaligus membangun usaha perunggasan yang tangguh serta kerja keras dan kerjasama yang solid diantara semua pihak terkait. Selain itu perjuangan melawan impor paha ayam sangat tergantung pada kekompakan masyarakat perunggasan dan seluruh stakeholder terkait serta didukung pembenahan regulasi untuk menciptakan iklim kondusif bagi dunia perunggasan (SETIJANTO dalam TROBOS, Mei 2006).
Upaya yang mutlak dilakukan pemerintah adalah promosi dan proteksi. Upaya memproteksi komoditas tertentu masih dimungkinkan untuk dilakukan melalui beberapa mekanisme legal, diantaranya (i) SPS (Sanitary & Phytosanitary) terkait alasan kesehatan, (ii) Codex Alimentarius yang memberi toleransi atas kepentingan khusus suatu bangsa misalnya karena mayoritas muslim. Terbaru ada SP (Spesial product) dan SSM (Spesial Safeguard Mechanisme), yang memungkinkan negara berkembang melindungi produk-produk lokal tertentu dengan binding tariff. Pemberlakuan bound tariff yang tinggi pada produk tertentu dimaksudkan untuk melindungi usaha dalam negeri (UTOYO dalam TROBOS, Februari 2006).
Wewenang penanganan masalah impor paha ayam dalam hal teknis sepenuhnya berada pada Menteri Pertanian. Penyusunan kebijakan yang akan diambil harus memperhatikan beberapa hal diantaranya secara teknis harus reasonable, secara ekonomis harus feasible, secara keuangan harus menguntungkan dan secara sosial harus dapat diterima (SUHADJI dalam TROBOS, Mei 2006).
Bagi perindustrian hasil unggas merupakan bahan baku, secara prinsip Departemen Perindustian dan Perdagangan mempunyai prioritas untuk memberdayakan bahan baku dari dalam negeri (IDRIS dalam TROBOS, Februari 2006).

Kesimpulan dan saran
Dengan ditemukan beberapa kasus masuknya paha ayam (CLQ) dan polemik yang terjadi di masyarakat, pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan menolak impor paha ayam (CQ) dari Amerika Serikat berdasarkan pertimbangan bahwa paha ayam dari AS belum mampu memenuhi aspek aman, sehat, utuh dan halal (ASUH),  produksi domestik mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri serta untuk melindungi pasar di dalam negeri.
Dalam menghadapi perdagangan global sekaligus menciptakan iklim kodusif bagi dunia perunggasan diperlukan strategi yang tepat serta kerjasama yang solid antara masyarakat perunggasan dan semua stake holder terkait yang didukung oleh pembenahan regulasi antara instansi terkait terutama Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Agama dan Departemen Keuangan.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2005. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Kumpulan Undang-undang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hadiyanto. 2002. Problematika Impor paha Ayam Amerika. SINAR HARAPAN, Jumat 12 April 2002.
Kesehatan. 2005. Paha Ayam Asal AS Tak Layak Dikonsumsi. Majalah Kesehatan. 06 Oktober 2005.
Kompas. 2003. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. Kompas 26 Mei 2003.
Kompas. 2005. Impor Paha Ayam Bisa Hancurkan Peternakan Nasional. Kompas 9 Oktober. 2005.
Poultry Indonesia. 2006. CLQ yang Tak Kunjung Usai. Poultry Indonesia. Mei 2006.
Poultry Indonesia. 2005. Impor Paha Ayam AS Kembali Mengancam Peternakan Nasional. Poultry Indonesia. 11 Oktober 2005.
Media Indonesia. 2005. Ekonomi Makro: Mentan Bantah Rencana Impor Paha Ayam. Media Indonesia 9 Oktober 2005.
Republika. 2005. Mentan Bantah Rencana Impor Paha Ayam. Republika 9 Oktober 2005.
Trobos. 2005. Lagi, Peternakan Bakal Terjepit Paha. Majalah Trobos Maret 2005. No. 66 Tahun ke VI.
Trobos. 2005. Che El Qi Ilegal Terobos RI. Majalah Trobos April 2006. No. 79, Tahun ke VII.
Trobos. 2005. CLQ Bayangi Flu Burung, Memancing di air Keruh. Trobos, September 2005. No. 72, Tahun ke VI.
Trobos. 2005. Teka-Teki Sayap Ayam Misterius di Ujung Pandang. Majalah Trobos. Sisipan Nopember 2005.
Trobos. 2006. Hati-Hati Che El Qi. Majalah Trobos Februari 2006. No 77, Tahun ke VII.
Trobos. 2006. Impor Paha Ayam Tetap Ancaman Serius. Majalah Trobos Mei 2006. No.80, Tahun ke VII.
Yusdja. Y. 2006. MDM, sebuah kasus: Mengapa industri agribisnis bercerai-berai?. TROBOS, Januari 2006 No. 76 Tahun ke  VII.